Gorontalo, mimoza.tv – Pernah dengar istilah butterfly effect? Dalam teori chaos, ini merujuk pada konsep bahwa perubahan kecil di satu titik dalam sistem kompleks bisa memicu dampak besar dan tak terduga di masa depan. Ibarat kepakan sayap kupu-kupu di Brasil yang bisa memicu badai di Texas.
Kini, teori ini tidak hanya hidup dalam buku fisika atau film fiksi ilmiah. Ia nyata – dan hidup – di genggaman tangan para pengguna TikTok. Bukan dalam bentuk badai cuaca, tapi badai dalam pikiran dan kehidupan sosial manusia.
Scroll Sebentar, Rusak Selamanya
Apa yang tampak seperti scroll ringan di sela waktu luang, bisa menjadi pemicu kerusakan bertingkat: jam biologis terganggu, fokus kerja menurun, relasi sosial melemah, bahkan kesehatan mental terancam. Fenomena ini dikenal sebagai doomscrolling — kebiasaan tak sadar mengonsumsi konten secara berlebihan, seringkali tanpa kendali.
Yang lebih mengkhawatirkan, konten di TikTok didesain untuk menggoda otak melalui dopamine hijacking. Dopamin, senyawa kimia pemicu rasa senang, dilepaskan terus-menerus saat pengguna mendapatkan sensasi baru — video lucu, gosip panas, atau drama di live PK. Otak diprogram ulang untuk terus mengejar sensasi itu. Maka, berhenti terasa seperti kehilangan hidup.
Live TikTok: Panggung Virtual yang Memenjara
Tak berhenti di scroll. Kini semakin banyak pengguna terjebak dalam kecanduan live — sebuah panggung digital di mana atensi adalah mata uang, dan eksistensi ditentukan oleh jumlah gift atau penonton.
Mereka mulai dengan iseng, lalu perlahan masuk ke rutinitas: bangun siang karena begadang live, mood buruk karena tidak dapat gift, konflik rumah tangga karena waktu tersedot habis untuk layar. Semua ini bisa berawal dari satu klik “Live”, lalu membentuk pola spiral yang sulit dihentikan.
Tanpa sadar, pengguna mulai hidup untuk tampil, bukan untuk hidup. Emosi jadi konsumsi publik, dan harga diri dibangun dari like, viewer, serta peringkat PK.
Dari Satu Swipe Jadi Ledakan
Layaknya efek kupu-kupu, keputusan kecil untuk “lihat TikTok sebentar saja” bisa jadi awal dari runtuhnya keseimbangan hidup. Saat setiap notifikasi terasa lebih penting dari percakapan nyata, dan setiap live lebih menarik daripada pelukan pasangan, maka kita sedang hidup dalam badai yang kita buat sendiri.
Bukan Teknologi yang Salah, Tapi Cara Kita Menyerah Padanya
TikTok tidak berbahaya karena algoritmanya — ia berbahaya saat manusia kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ketika waktu tidur, fokus belajar, hubungan sosial, bahkan rasa percaya diri ditentukan oleh apa yang terjadi di layar, maka kita sedang berada dalam jalur efek kupu-kupu: hal kecil yang perlahan merusak segalanya.
Penulis: Lukman.
Sumber Referensi
- https://www.alodokter.com/bahaya-dopamin-hijacking
- https://www.halodoc.com/artikel/doomscrolling-berdampak-buruk-pada-kesehatan-mental
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6292710/live-tiktok-masih-tren-sampai-2023-psikolog-ini-efeknya
- https://www.kompas.com/tren/read/2023/09/07/100000965/terlalu-sering-scroll-tiktok-dan-ig-bisa-rusak-otak-kok-bisa-