Oleh: Makmun Rasyid (Praktisi Kontra Khilafah dan Radikal-Terorisme)
Proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Sekretaris Daerah di Kabupaten Gorontalo memunculkan keprihatinan serius publik, terutama dengan munculnya salah satu nama dalam tiga besar yang memiliki rekam jejak sebagai mantan Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Provinsi Gorontalo—organisasi yang telah dibubarkan dan dinyatakan sebagai entitas terlarang oleh negara melalui Perppu No. 2 Tahun 2017. Fakta ini bukan sekadar anomali administratif, melainkan sinyal keras akan rapuhnya sistem deteksi dini terhadap ancaman ideologis dalam birokrasi.
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) tidak boleh terus bersembunyi di balik retorika koordinasi dan kegiatan simbolik. FKPT bukan klub diskusi. FKPT adalah instrumen negara dalam perang ideologis yang sesungguhnya. Jika FKPT tidak segera bersikap atas indikasi masuknya eks pengurus HTI ke dalam struktur pemerintahan daerah, maka keberadaan FKPT patut dipertanyakan—baik dari sisi fungsi, keberanian, maupun relevansinya.
Diamnya FKPT dalam situasi seperti ini adalah bentuk pembiaran. Dan pembiaran terhadap potensi penyusupan ideologi yang bertentangan dengan konstitusi adalah kegagalan struktural. FKPT Provinsi Gorontalo seharusnya sudah mengaktifkan fungsi intelijensi sipilnya, melakukan klarifikasi terhadap proses seleksi, serta mengirimkan laporan resmi ke BNPT pusat dengan tembusan ke Mendagri dan Menkopolhukam. Tidak ada alasan menunggu.
Kita harus tegas menyatakan: jika lembaga yang diberi mandat untuk mencegah radikalisasi justru pasif dalam menghadapi ancaman nyata, maka yang terjadi bukan hanya disfungsi kelembagaan, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat negara dalam menjaga ideologi Pancasila.
Negara tidak boleh mentolerir kelembaman semacam ini. FKPT harus segera bertindak, atau negara perlu meninjau ulang struktur dan komitmen kelembagaan yang terbukti tidak mampu menjalankan tugasnya secara nyata.