Oleh: Mohamad Hidayat Muhtar SH. MH
(Alumni Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung)
Tulisan ini berangkat dari judul berita Gorontalo Post pada tanggal 10 Juni tahun 2021 dengan judul “ Rusli-Adhan Panas Lagi Terkait Rp 53 Miliar Berujung di Polisi” Hemat penulis subtansi berita ini sangat menarik karena Rusli Habibie melaporkan Adhan Dambea ke polisi atas dasar dugaan pencemaran nama baik.
Jika melihat subtansi akar konflik yang berawal dari Peryataan Adhan Dambea tentang dugaan penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dimana dalam pernyataanya Adhan Dambea menyatakan bahwa “berdasarkan hasil audit BPK hanya Rp 202 miliar yang bisa dipertanggungjawabkan. Ada Rp 53 Miliar yang tidak bisa dipertanggungjawabkan” Adhan Dambea pun melanjutkan bahwa mencurigai dana Rp 53 miliar digunakan untuk kepentingan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada tahun 2019 serta menduga ada indikasi korupsi. Berkaitan dengan penjelasan diatas yang menjadi pertanyaan “apakah pernyataan Adhan Dambea sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo dapat dipidanakan?” Untuk memahami hal ini kita perlu untuk melihat dalam konteks bekerjanya hukum.
Dasar Hukum Pencemaran Nama Baik
Secara umum rujukan atas pencemaran nama baik terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
Pencemaran nama baik juga turut diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Dasar hukum Imunitas Anggota DPRD
Dasar hukum imunitas anggota DPRD secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 (UU MD3) Pasal 338 Ayat (2) yang berbunyi:
“Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi”
Apakah pernytaan Adhan Dambea sebagai Anggota DPRD Provinsi Gorontalo dapat dipidanakan?
Secara umum seluruh perbuatan yang melanggar hukum harus di hukum akan tetapi berbicara mengenai hukum tidak sesederhana berbicara mengenai 1+1=2. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Rusli Habibie yang melaporkan Adhan Dambea atas dasar pencemaran nama baik memiliki dasar hukum sebaliknya Adhan Dambea memiliki hak imunitas yang diatur dalam UU MD3. Untuk memahami hal ini perlu di garis bawahi bahwa dalam ilmu hukum terdapat Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Artinya UU MD3 Sebagai UU khusus yang mengatur hak imunitas DPRD dapat mengesampingkan KUHP yang mengatur tentang pencemaran nama baik.
Selanjutnya dalam hal dugaan tindak pidana korupsi terdapat surat edaran Kapolri bernomor B/345/III/2005/Bareskrim tanggal 7 Maret 2005 yang menyatakan: “Pertama, penanganan kasus tindak pidana korupsi dengan kegiatan penyelidikan/ penyidikan, baik oleh Polri, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu dijadikan prioritas utama. Kedua, penanganan kasus pencemaran nama baik sebagai kasus yang timbul kemudian tetap ditangani, namun bukan prioritas utama dengan tujuan kasus tersebut tidak terhambat/mengaburkan penangan korupsi yang menjadi kasus pokoknya. Ketiga, lebih memanfaatkan penangan kasus pencemaran nama baik untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang diperlukan didalam proses pembuktian kasus korupsi yang menjadi masalah pokok”
Berdasarkan hal itu peryataan Adhan Dambea masih dalam kapasitasnya sebagai anggota DPRD untuk melakukan fungsi pengawasan. Dalam UUD MD3 sendiri secara tegas menyatakan pernyataan anggota DPRD baik dikemukakannya secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi tidak dapat dituntut di pengadilan. Mengenai pelaporan pencamaran nama baik Polda Gorontalo dapat berpedoman pada surat edaran Kapolri bernomor B/345/III/2005 akan tetapi jika Polda Gorontalo tetap ingin mengusut kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh anggota DPRD Sebaiknya dapat bekerjasama dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memberikan laporan sebagaimana diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sebagai penutup penulis menyampaikan bahwa dalam hal penegakan hukum agar pihak Polda Gorontalo mengutamakan penyelesaikan kasus secara restorative justice sebagaimana Surat Edaran kapori nomor SE/2/II/2021 tertanggal 19 Februari 2021. tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif yang menyatakan “Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium), dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara,” Selanjutnya di nyatakan”Terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme,”