Pohuwato, mimoza.tv – Hampir setahun berlalu sejak laporan dugaan pemerasan oleh Kepala SDN 04 Randangan, I Nyoman Kantun, mencuat ke publik. Namun hingga kini, Dinas Pendidikan Kabupaten Pohuwato belum juga mengambil langkah tegas ataupun memberikan pernyataan resmi terkait kasus yang menyeret dana BOS dan menimbulkan dampak psikologis berat bagi korban.
Dugaan pemerasan ini terjadi pada 6 Januari 2025, saat Siti Norma Petta Solong—mantan operator sekolah—didatangi langsung oleh kepala sekolah bersama bendahara dan guru ke rumahnya. Mereka meminta agar honor kerja selama tiga bulan (Oktober, November, dan Desember 2024) yang sudah diterima Siti dikembalikan, pasca pengunduran dirinya pada 31 Desember 2024.
Siti akhirnya menyerahkan Rp2,5 juta dari total honor Rp3,9 juta, menyisakan Rp1,4 juta yang dianggap sebagai “utang paksa”. Padahal, honor tersebut bersumber dari Dana BOS yang penggunaannya diatur ketat dan tidak dapat ditarik kembali setelah dibayarkan.
Laporan resmi atas tindakan ini telah didaftarkan ke Polres Pohuwato sejak 19 Januari 2025 dengan nomor: STTLP/06.B/I/2025/SPKT/RES-PHWT, dan kini dikabarkan telah masuk dalam tahap gelar perkara. Namun nyaris setahun berlalu, belum ada langkah nyata dari instansi yang menaungi dunia pendidikan tersebut.
Akibat tekanan yang dialaminya, Siti Norma mengalami gangguan psikologis berat. Ia didiagnosa mengidap gangguan psikosis dan/atau depresi sejak Januari lalu dan hingga kini masih menjalani perawatan intensif di Kabupaten Bone Bolango.
Kakak kandung korban, Dr. Najamuddin Petta Solong, M.Ag., mewakili keluarga, menyesalkan sikap diam Dinas Pendidikan. Ia telah melayangkan laporan kepada instansi tersebut sejak Mei 2025, dan menembuskannya ke Bupati serta DPRD Kabupaten Pohuwato.
“Kami tidak menuntut berlebihan. Hanya ingin agar laporan kami ditanggapi secara serius. Ini bukan semata masalah pribadi, tapi menyangkut penyalahgunaan kekuasaan, dana BOS, dan kehormatan dunia pendidikan,” kata Najamuddin kepada mimoza.tv, Sabtu (26/7/2025).
Pihak keluarga dalam laporannya mendesak:
- Pemeriksaan internal terhadap oknum kepala sekolah,
- Perlindungan dan pendampingan psikologis bagi korban,
- Sanksi administratif jika terbukti ada pelanggaran etik,
- Transparansi hasil evaluasi ke publik.
Namun hingga kini, tidak ada satupun poin yang ditindaklanjuti. Kondisi ini memicu kekecewaan publik dan kekhawatiran akan lemahnya penegakan etika dalam dunia pendidikan di daerah tersebut.
Sementara itu, Polres Pohuwato menyatakan bahwa proses hukum tetap berjalan. “Kasus ini sudah dalam tahap gelar perkara dan akan kami tindak lanjuti,” ujar Brigadir Fadli.
Keluarga berharap Dinas Pendidikan dan Pemerintah Kabupaten Pohuwato tidak terus-menerus diam. Mereka menuntut kejelasan, keadilan, dan keberpihakan terhadap pegawai kecil yang kerap terabaikan.
“Kalau bukan Dinas Pendidikan yang melindungi guru dan stafnya, lalu siapa lagi? Jangan sampai masyarakat menilai, diamnya instansi ini justru memperkuat dugaan pembiaran dan lemahnya komitmen terhadap etika birokrasi,” pungkas Najamuddin. (rls/luk)