Gorontalo, mimoza.tv – Di tengah dunia yang semakin akrab dengan kebohongan publik dan politik penuh topeng, masih ada pejabat yang memilih malu daripada memalukan. Namanya Maki Takubo. Baru dua bulan menjabat sebagai Wali Kota Ito, Jepang, ia memilih mundur setelah tersandung kasus ijazah palsu.
Takubo awalnya mengklaim sebagai lulusan Universitas Toyo di Tokyo. Klaim itu sempat menjadi modal elektoralnya saat maju dalam pemilihan Mei 2025 lalu. Sayangnya, universitas tempat ia mengaku menimba ilmu justru membantah: Takubo ternyata sudah dikeluarkan sejak lama.
Pada 2 Juli, ia akhirnya mengakui kenyataan pahit tersebut. Seminggu kemudian, dengan nada menyesal, ia menyampaikan permintaan maaf dalam rapat kebijakan Kota Ito. Saat itu, wajahnya mungkin tertunduk, tapi publik justru menatap lebih tinggi—bukan karena kagum, tapi karena kecewa.
“Saya Yakin Itu Asli, Tapi Lupa Dapat dari Mana”
Pernyataan Takubo ini terdengar seperti ironi bagi publik yang terbiasa dengan dokumen resmi dan prosedur ketat di Negeri Sakura. Ia memperlihatkan ‘sertifikat kelulusan’ misterius, namun tak mampu menjelaskan asal-usulnya. Ketika seorang pejabat publik tidak tahu dari mana ijazahnya berasal, maka rakyat tentu berhak bertanya: apa lagi yang tak dia tahu, tapi pura-pura tahu?
Majelis Kota Ito pun tak tinggal diam. Pada 7 Juli mereka mengeluarkan dua resolusi: mendesak Takubo mundur dan membentuk tim investigasi untuk menyelidiki kemungkinan pemalsuan dokumen. Sebuah langkah cepat—karena di negara dengan sistem yang sehat, kebohongan bukan sekadar noda, tapi cacat integritas yang tak bisa ditambal retorika.
Pengacaranya berdalih dokumen belum bisa diumumkan karena bisa menjadi barang bukti. Takubo pun berjanji akan menyerahkan semuanya ke kejaksaan dan hengkang dari kursi kekuasaan dalam waktu 10 sampai 14 hari.
“Kalau saya ngotot bilang ijazah itu asli, itu hanya omong kosong tanpa bukti,” katanya kepada The Japan Times. Sebuah pengakuan yang jujur—meskipun datang setelah kepalang basah.
Kejujuran: Nilai Langka yang Masih Tersisa
Kasus ini mencuat bukan semata karena media, tapi karena surat anonim yang menyebar ke seluruh anggota dewan, mempertanyakan latar belakang Takubo. Sidang pleno pun digelar. Bahkan buku tahunan Universitas Toyo dibongkar. Hasilnya? Nama Takubo tidak ditemukan.
Kini, setelah mengakui kesalahan, ia bersiap menyerahkan surat resmi ke jaksa dan mengosongkan kursinya. Pemilihan wali kota baru dijadwalkan 50 hari setelah pengunduran diri resmi.
Mungkin Takubo gagal menjaga integritas sejak awal. Tapi setidaknya, ia masih punya keberanian untuk mundur—sebuah sikap langka di tengah banyaknya pejabat yang justru makin kuat genggam kursi meski rapuh moralitasnya.
Di negeri lain, ijazah bisa jadi palsu, tapi jabatan tetap langgeng. Di Jepang, yang palsu mungkin dokumen, tapi rasa malu masih otentik.
Penulis: Lukman.