Oleh : Susanto Kadir, SH., CPL., CPCLE., CPM. Praktisi Hukum
Fenomena Ghosting atau mengakhiri sebuah hubungan secara mendadak sekarang ini lagi menjadi trending di Indonesia. Ghosting kebanyakan dialami oleh muda mudi namun tidak sedikit terjadi pula pada orang dewasa bahkan ada yang berstatus telah menikah.
Janji menikahi menjadi jurus jitu dari seorang pria untuk merayu bahkan sampai dengan menggahi wanita incaran, namun semua itu hanya janji manis belaka alias sang pria merupakan lelaki Pemberi Harapan Palsu (PHP). PHP ini sangat menyakitkan bahkan akan membuat trauma wanita yang menjadi korban.
Berhati-hatilah karena Ghosting yang mengandung unsur PHP ini dapat dijerat hukum baik pidana maupun perdata. Sudah banyak jurisprudensi tentang janji menikah ini, dan sebagian besarnya para lelaki PHP dihukum bersalah oleh pengadilan.
Persoalan janji menikahi ini sering kali dilakukan oleh para pria PHP kepada wanita, ini banyak terjadi pada pasangan muda mudi bahkan yang sudah dewasa atau paruh baya, mulai dari janji menikahi, salah satu pasangannya menyerahkan keperawanannya, atau melakukan hubungan layaknya suami istri, hingga hamil. Lalu, membatalkan rencana pernikahan begitu saja, padahal persiapan pernikahan sudah 90 persen, mulai biaya catering hingga sewa gedung. Ternyata kejadian seperti ini sudah banyak terjadi dari dahulu hingga saat ini.
Misalkan saja, ada cerita di salah satu daerah tentang isyu skandal seorang pejabat daerah (Bupati) dengan seorang wanita, sebut saja pejabat itu si Kumbang dan wanita si Mawar.
Kumbang dan Mawar diduga atau diisyukan memiliki hubungan asmara layaknya hubungan suami isteri padahal si Kumbang ini sudah beristeri dan merupakan pejabat daerah.
Saking lamanya menunggu janji dinikahi oleh si Kumbang, akhirnya Mawar hilang kesabarannya dan ia pun akhirnya mempersoalkan janji-janji itu dengan cara mengadu ke lembaga sebagai upaya mencari keadilan.
Penulis, tertarik melihatnya dari perspektif hukum bagaimana semestinya hukum bekerja menyelesaikan kasus sebagaimana diulas diatas, tentunya dengan tetap mengedapankan ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH kepada si Kumbang maupun si Mawar.
Jika skandal itu benar adanya, maka si Kumbang ini tidak hanya dapat diduga telah melakukan pelanggaran etika, tetapi juga telah melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Khususnya pada pasal yang menyatakan bahwa semua perkawinan harus dicatatkan.
Jika si Kumbang menjalin hubungan layaknya suami isteri dengan alasan sudah menikah siri, hal ini tidak dapat dibenarkan sebab semua perkawinan harus dicatatkan ke pencatatan sipil di pemerintahan daerah setempat, si Kumbang juga harus mengantongi izin poligami dari isteri sahnya atau isteri pertamanya, belum lagi sebagai pejabat daerah si Kumbang tidak boleh melanggar sumpah jabatannya.
Bagi si Kumbang yang punya jabatan diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan dan telah melanggar sumpah jabatan (baca : Jika Terbukti Secara Hukum) maka si Kumbang sudah sepantasnya diberhentikan sesuai PP No 6 tahun 2005 pasal 123 ayat (2) huruf (d) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah; huruf (f) melanggar larangan bagi Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
Adapun tata cara pemberhentian si Kumbang dapat mengacu ke PP No 6 tahun 2005 pasal 123 ayat (4) huruf (a). Bunyinya adalah: “Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan kepada Presiden berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD , bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah telah melanggar sumpah jabatan.
Pada kasus si Kumbang dan si Mawar diatas, apabila pelanggaran terhadap UU Perkawinan sudah sangat jelas sekali, maka konsekuensi hukumnya akan sangat serius dan berat.
Ketaatan dan Kepatuhan seorang Bupati selaku Kepala Daerah sudah dituangkan dalam sumpah jabatan bahwa “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbhakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Seorang Bupati memiliki fungsi sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang seharusnya bisa menjadi teladan bagi PNS di daerah tersebut. Selain harus cakap dalam menjalankan tugas, dia juga harus menjaga kepatutan dalam keseharian, baik di lingkungan pemerintahan maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Selama ini banyak pejabat atau maupun birokrasi yang menganggap sumpah jabatan hanya sekadar bagian dari ritual dalam proses mendapakan suatu jabatan, semestinya tidak demikian.
Kasus impeachment terhadap seorang Bupati sudah pernah terjadi, sebut saja impeachment yang dialami oleh Bupati Garut Aceng Fikri, itu bisa dijadikan pelajaran berharga dan peringatan keras bagi segenap aparatur negara, baik dari kalangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif di tanah air.
Meskipun seorang bupati, walikota atau gubernur itu dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada, bukan berarti dia tidak bisa diberhentikan.
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bisa memberhentikan dia, pasalnya, kewenangan yang dimiliki bupati merupakan pendelegasian yang diberikan oleh Presiden selaku Kepala Negara.
Jadi Presiden dapat mengambil kembali wewenang yang didelegasikan itu, kalau pejabat itu melakukan pelanggaran. Dan mekanisme itu sebagaimana diatur oleh PP No 6 Tahun 2005.
Jerat hukum lain bagi lelaki PHP yaitu si wanita Mawar dapat saja menggunakan hal keperdataannya untuk mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan dalil dijanjika oleh si Kumbang untuk dinikahi tapi ternyata tidak atau hanya di PHP.
Jika menelusuri website Mahkamah Agung kita dapat menemukan beberapa jurisprudensi, seperti didalam putusan kasasi MA No. 1644 K/Pdt/2020.
Pada kasus tersebut, ingkar janji tidak menikahi perempuan yang dijanjikan, berujung si perempuan menempuh gugatan perdata dengan menggunakan dalil perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
Onrechtmatigedaad umumnya merujuk pada Pasal 1365 BW/KUH Perdata yang menyebutkan setiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Dalam praktiknya, onrechtmatigedaad adalah konsep hukum yang mudah digunakan pihak-pihak yang merasa dirugikan, dan bisa menjadi perangkap dalam hubungan berpacaran yang tak berlanjut ke pelaminan. Sebab, kasus seperti ini telah ada yurisprudensinya.
Salah satu yang menjadi yurisprudensi adalah putusan MA yang dijatuhkan Hakim Agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Arbijoto pada pertengahan Juli 2003 silam.
Dalam putusan ini, Majelis Hakim MA itu mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat. Dalam Putusan MA No. 3277 K/Pdt/2000 ini, judex factie dianggap salah menerapkan hukum. Majelis menganggap tidak dipenuhinya janji menikahi mengandung arti Tergugat telah melanggar norma kesusilaan, kepatutan masyarakat, dan perbuatan Tergugat adalah perbuatan melawan hukum.
Oleh karena perbuatan tidak memenuhi janji menikahi itu menyebabkan kerugian bagi Penggugat, maka Tergugat asal wajib membayar ganti rugi yang besarnya ditetapkan dalam amar putusan. Ganti ruginya jumlahnya sebesar Rp7,5 juta sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan Penggugat untuk membiayai hidup Tergugat selama mereka berdua menjalin asmara.
Dari putusan perkara ini dapat ditarik kaidah hukum bahwa “dengan tidak dipenuhinya janji untuk mengawini, perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan melawan hukum karena melanggar kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat”. Putusan ini juga diketahui bukan putusan pertama yang menghukum pelaku yang ingkar janji menikahi.
Majelis Hakim Agung ini merujuk pada yurisprudensi Putusan MA No. 3191 K/Pdt/1984 tanggal 8 Februari 1986. Dalam putusan ini, hakim agung menyatakan perbuatan Tergugat asli yang tidak memenuhi perjanjian untuk melangsungkan perkawinan dikualifikasi sebagai pelanggaran norma kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat, sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat asli.
Bahkan, terdapat kasus ingkar janji menikahi yang dijerat dengan hukum pidana. Hal ini termuat dalam Putusan MA No. 522 K/Sip/1994. Majelis MA menghukum si pria (sebut saja D) yang “kebablasan bertindak” setelah berjanji menikahi dan bertunangan dengan seorang perempuan (sebut saja R). Gara-gara janji menikahi nyaris terealisir, D dan R melakukan hubungan suami istri sampai sang perempuan hamil.
Kehamilan itu ternyata tidak diharapkan D, dan memaksa calon pasangannya menggugurkan kandungan. Upaya paksa ini dibarengi dengan pukulan dan tendangan. MA akhirnya menghukum si pria dengan pidana menyerang kehormatan susila, pencurian dengan kekerasan, dan penganiayaan mengakibatkan luka berat.
Dalam perkara lain, Majelis Hakim MA menggunakan konstruksi Pasal 378 KUHP (Penipuan) untuk menghukum seorang pria yang tidak menepati janji menikahi. Konstruksi pemikiran ini juga ditemukan dalam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan tanggal 5 November 2015.
Dalam kasus ini, terdakwa berjanji menikahi pacarnya dan sudah membicarakan mahar. Terdakwa mendapatkan sejumlah barang dari keluarga saksi korban. Tapi kemudian terdakwa melarikan diri ke pulau Jawa untuk menghindari perkawinan dengan saksi korban. Padahal, keluarga saksi korban sudah memesan organ musik. Pada bagian alasan memberatkan majelis hakim menyatakan “akibat perbuatan terdakwa, saksi korban dan keluarganya merasa malu terhadap warga sekitar karena tidak jadi menikah padahal telah mempersiapkan segala sesuatunya”.
Meskipun sudah ada yurisprudensi, tak semua gugatan atas janji menikahi yang diingkari diterima oleh majelis hakim. Dalam salah satu putusan kasasi MA tertanggal 23 Februari 2013, Majelis MA menolak permohonan kasasi Penggugat asal. Dalam petitum gugatan di pengadilan tingkat pertama, Penggugat asal meminta majelis hakim menyatakan Tergugat telah ingkar janji untuk menikahi Penggugat. Namun argumentasi Penggugat ditepis Majelis. Majelis Hakim Agung beralasan Penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya telah menyerahkan keperawanan kepada Tergugat asal setelah Tergugat asal berjanji akan menikahi Penggugat.
Dari sini kita semua memahami bahwa mengumbar janji menikahi seorang perempuan dan ternyata tidak dipenuhi akan berpotensi bagi para lelaki PHP dijerat hukum baik pidana maupun perdata.
Andai saja kasus antara Kumbang dan Mawar diselesaikan secara hukum, maka terdapat kemungkinan si Kumbang yang diduga sebagai lelaki Pemberi Harapan Palsu (PHP) jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, ia akan berakhir dipenjara atau bisa pula ia akan mengganti rugi kepada si Mawar karena melalukan perbuatan melawan hukum.