Oleh: Asep Rahman SKM MKes
Sejak akhir abad ke-18, seorang ilmuwan bernama James Prescott Joule, menarik kesimpulan dari rangkaian penelitiannya bahwa energi tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan, melainkan energi hanya bisa dikonversi dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Inilah yang kita kenal dengan hukum kekekalan energi, yang nantinya mempengaruhi seluruh unsur kehidupan umat manusia.
Dalam kondisi pandemi seperti ini, muncul kegelisahan bahwa kita tengah mengalami pelambatan ekonomi.
Tidak sepenuhnya betul, nyatanya kita hanya sedang mengalami perubahan model transaksi ekonomi yang biasanya fisik akan menjadi non-fisik.
Tanpa kita sadari, sektor ekonomi digital, seperti penyedia internet, aplikasi meeting online, kursus online ataupun media nonton film online dan sebagainya sedang menikmati masa panennya.
Sederhananya, hukum kekekalan energi senantiasa berjalan di semua lini kehidupan, termasuk sektor ekonomi.
Makanya tidak mengherankan jika ada yang percaya bahwa terdapat konspirasi jahat antara industri digital dengan terjadinya pandemi Covid-19, misalnya yang dituduhkan ke Bill Gates.
Perubahan model ekonomi merupakan hal yang lumrah, apalagi di era disrubsi ekonomi saat ini. Tanpa terjadinya pandemi Covid-19, adaptasi pelaku usaha sudah sangat lumrah terjadi.
Apalagi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang telah terbukti tetap bertahan di setiap badai ekonomi.
Wajar jika istilah The New Normal sudah dikenal sektor ekonomi pasca resesi ekonomi global tahun 2008 hingga 2012 karena telah menjadi bagian dari proses evolusi sektor ekonomi.
Penulis sendiri bukanlah ahli ekonomi, namun dalam kacamata kesehatan masyarakat titik singgung antara kesehatan dan ekonomi cukup erat.
Secara definisi, baik oleh lembaga kesehatan dunia (WHO) maupun yang telah diadopsi oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, seseorang disebut sehat jika mampu untuk hidup produktif.
Ini menempatkan status sehat sebagai investasi, sesuatu yang mahal tentunya jika dikonversikan ke nilai ekonomi.
The New Normal yang diaplikasikan dengan cara membuka kembali tempat-tempat keramaian seperti mall dengan alasan untuk mengairahkan roda ekonomi, rasanya kurang tepat saat ini.
Tentu dengan mempertimbangkan aspek kesehatan bahkan keselamatan publik seperti potensi lonjakan kasus baru ataupun terjadinya gelombang pandemi yang tidak terkontrol lagi.
Jika mau, mari kita mulai bersiap dengan The New Normal yang kaffah atau menyeluruh.
Mengambil posisi tengah, tidak selamanya aman, bahkan terkesan ambigu.
Konsep The New Normal idealnya mendorong kebiasaan benar-benar new atau baru, bukan setengah-setengah.
Maka perlu totalitas perubahan baru yang didukung dengan sistem berupa regulasi yang kuat untuk menerapkannya.
Idealnya, jika kita siap dengan konsep New Normal, maka kita kita juga harus siap menegaskan diri bahwa kebiasaan-kebiasaan lama sebagai sesuatu yang abnormal dan harus mulai ditinggalkan.
Oleh karena itu, sudah saatnya menyemarakkan ekonomi digital ataupun mendorong layanan telemedicine untuk sektor kesehatan sebagai langkah strategis yang harus diteguhkan dalam upaya The New Normal.
Di sisi lain, daripada membuka kembali sekolah dan kampus yang memungkinkan kontak fisik, mungkin sudah saatnya kita memperkuat model edukasi digital.
Konsep The New Normal pada level perubahan perilaku seperti penggunaan masker, jaga jarak, dan rutin cuci tangan tidaklah cukup kuat untuk menyongsong disrupsi di semua lini kehidupan saat ini.
*Penulis adalah Dosen Fakultas kesehatan Masyarakat di Universitas Sam Ratulangi. Sekretaris Lembaga Kesehatan Nahdatul Ulama Sulawesi Utara.