Gorontalo, mimoza.tv – Insiden pengusiran atau pelarangan wartawan salah satu media daring di Gorontalo yang tidak diperbolehkan meliput kegiatan Rapat Pleno DPD 1 Partai Golkar Provinsi Gorontalo pada Kamis (20/2/2020) pekan lalu, menjadi catatan, bahwa masih banyak kasus diskriminasi terhadap wartawan atau pers.
Syofiardi Bachyul Jb selaku Ketua Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menyayangkan adanya pelarangan peliputan terhadap wartawan tersebut.
Bahkan, Syofiardi yang juga selaku Ahli Pers di Dewan Pers ini meminta semua pihak harus menghormati profesi wartawan dan tidak boleh menghalangi wartawan meliput, juga tidak boleh diskriminatif.
Melansir databoks.katadata.co.id, AJI mengkategorikan, jenis kekerasan terhadap jurnalis diantaranya adalah: kekerasan fisik, pengusiran/pelarangan liputan, ancaman kekerasan/teror, perusakan alat/data hasil liputan, intimidasi lisan, serta sensor alias pelarangan pemberitaan.
Sejak tahun 2014 hingga tahun 2018 tercatat, jenis kekerasan fisik paling mendominasi. Sepanjang tahun 2014 hingga tahun 2018 ada 124 kasus kekerasan fisik dengan rinciannya, tahun 2014 ada 18 kasus, tahun 2015 sebanyak 20 kasus, tahun 2016 berjumlah 36 kasus, tahun 2017 berjumlah 34 kasus, dan tahun 2018 berjumlah 16 kasus.
Di urutan kedua adalah jenis kekerasan pengusiran atau pelarangan peliputan. Dalam artikel yang tayang pada November 2019 itu tercatat, tahun 2014 ada 3 kasus, tahun 20145 ada 7 kasus, tahun 2016 ada 18 kasus, tahun 2017 ada 13 kasus, dan tahun 2018 ada 11 kasus pengusiran wartawan.
Dalam databoks itu juga tercatat beragam pelaku kekerasan terhadap wartawan, mulai dari advokat, para pejabat ekslusif dan legislatif, aparat pemerintah, serta organisasi masyarakat. Namun saja dari semua pelaku kekerasan tersebut masih di dominasi oleh aparat TNI, Polri serta pejabat pemerintah.(luk)
Diolah dari: databoks.katadata.co.id