Oleh: Funco Tanipu
Apa yang baru dari tahun baru? Sekedar pergantian tahun yang sebenarnya adalah pergantian detik? Ataukah semacam penanda dari pelepasan masa traumatik dari tahun sebelumnya? Ataukah ada sejumput harapan yang diharapkan?
Tahun 2019 memang tahun yang cukup mengerikan, dan bisa disebut sebagai Annus Horribilissimus. Perkelahian politik baik di dunia nyata maupun di dunia maya adalah bagian kelam dari perjalanan di tahun ini. Bangsa ini terbelah secara tragis dalam kategori yang parah, bangsa ini dibelah dalam dua sisi “kebinatangan” ; cebong vs kampret. Walapun kemudian pembelahan itu bermuara pada koalisi politik, namun sisi kelam dan banyak “capture” masih tetap terekam.
Perjumpaan politik yang ditandai dengan memasak nasi goreng tidak bisa menghapus memori tewasnya banyak perangkat kepemiluan yang terenggut nyawanya saat bertugas. Pun demikian halnya dengan banyaknya yang dipenjara karena ocehan hingga pembungkaman rezim. Kesemuanya adalah strip sejarah kelam bangsa yang menyisakan trauma mendalam.
Memang banyak yang menolak momentum tahun baru untuk dirayakan. Bagi sebagian kalangan, hal ini tidak sesuai dengan kaidah agama. Namun, bagi bangsa yang miskin momentum, pergantian tahun bisa dijadikan sarana kolektif (karena terlanjur massif) untuk menghadirkan penanda bagi kesadaran baru yang lebih bersemangat.
Walaupun sebenarnya pergantian tahun adalah pergantian detik dan angka, tetapi momentum kolektif ini bisa jadi waktu untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk bisa merawat energi perlawanan terhadap masalah-masalah bangsa ; korupsi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, radikalisme, hingga perilaku yang menyeret bangsa ini pada keadaan yang tragik.
Tahun Baru juga disambut dengan sukacita, ada yang pergi ke pantai, ada yang ke mall, ada yang nginap di hotel, ada yang berlibur ke kota-kota besar. Tahun baru dimaknai sebagai pelepas jenuh dari panjangnya rutinitas dan kerja selama setahun. Liburan pada akhirnya adalah soal pergeseran makna dari yang mestinya perenungan, refleksi, dan kontemplasi, menjadi kegiatan konsumtif dalam taraf rekreasi panca indera.
Karena itu, momentum pergantian tahun semestinya juga adalah mengganti kesadaran baru, yakni kesadaran yang lebih hakiki mengenai pemaknaan terhadap waktu seperti apa yang telah diingatkan dan digariskan dalam Surat Al ‘Asr : (1). Demi Masa. (2). Sungguh, manusia berada dalam kerugian. (3). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.
Dalam surat ini, ada penegasan yang serius mengenai kerugian manusia jika lalai dengan waktu, kecuali bagi mereka yang terus berpegang pada kebenaran dan terus sabar.
Kebaikan yang tersirat dalam surat ini tanpa didasari pada kebenaran, tentu tidak akan membawa maslahat, karena yang baik belum tentu benar, namun yang benar sudah pasti baik.
Memegang pada tali kebenaran adalah sangat penting di zaman yang kini disebut zaman edan. Zaman edan menurut Ronggowarsito dalam Serat Kalatidha adalah zaman dimana orang pandai belum tentu sukses, dan orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya sengsara.
Menurut Ronggowarsito, pada zaman edan inilah orang kaya makin kaya, sementara orang miskin semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Mau mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Bagi mereka yang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan.
Bagi Ronggowarsito, yang mesti dilakukan adalah “luwih begja kang éling klawan waspada” (akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada). Artinya, dalam semua kejumudan zaman dan masa, yang penting adalah selalu ingat padaNya, dan terus memegang erat tali kebenaran yang terjalin dari masa ke masa, sejak zaman Rasulullah hingga pada Ulama pewarisnya hari ini. Kebenaran itu adalah silsilah emas yang terus terjaga dan terawat hingga akhir zaman/masa.