Oleh: Aryanto Husain
Apakah semua ASN bobrok, tidak produktif dan tidak loyal? Apakah mereka tidak mempunyai kehormatan yang bisa dibanggakan saat pensiun nanti?
Pertanyaan ini menyeruak di tengah viralnya amarah seorang Bupati saat berpidato di sebuah apel kerja di daerahnya. Di tengah kegamngan terhadap kondisi yang tidak pasti akibat pandemic COVID-19, isu ini menjadi pilihan warga untuk dibicarakan. Sebagian bisa memahami mengapa Sang Bupati bisa marah seperti itu. Sebagian lainnya tidak menerima cercaan terhadap ASN yang bernada menghina seperti itu.
Sebetulnya apa yang terbetik, saat kita mendengar ASN (Aparatur Sipil Negara)? Rajin, loyal, dedikatif, dan professional? Atau sebaliknya, malas, masa bodoh, pembangkang atau suka korupsi?
Mari kita pelajari perilaku ASN dari berbagai kegiatannya melalui empat kuadaran Stephen R. Covey yang jabarkan dalam bukunya Seven Habits of Highly Effective People. Ada empat kuadran kategori kegiatan dilihat dari sisi penting (important) dan gentingnya (urgent) kegiatan tersebut. Penting jika kegiatan ASN sesuai dengan pencapaian visi hidup atau visi organisasi dimana dia bekerja. Genting jika kegiatannya dianggap mendesak. Covey menganalogikan kuadran pertama dengan kegiatan yang genting dan penting. Kuadran kedua dengan kegiatan yang tidak genting tapi penting. Kuadran ketiga dengan kegiatan yang genting dan tidak penting. Dan kuadran empat dengan kegiatan tidak genting dan tidak penting.
ASN dengan kinerja paling rendah berada pada kuadran 4. Sebagai ASN, saya terus berusaha menghindari kuadran ini. Mereka dalam kuadran ini umumnya senang menggosip, bermain medsos berlama-lama yang tidak perlu, dan varian kegiatan lainnya yang mubazir dan sia-sia. Mereka sulit melepaskan diri dari Bandwagon effect, sikap yang selalu ikuta-ikutan. ASN seperti ini sama sekali tidak produktif. Covey menegaskan, mereka yang ada dalam kuadran ini tidak punya visi hidup. Jikalaupun ada, mereka tidak punya kemampuan manajemen pribadi.
Sama halnya dengan ASN yang terjebak dalam kuadran kesatu. Mereka menghabiskan mayoritas waktunya dengan berbagai kegiatan penting dan genting. Selalu saja ada yang penting dan genting. Hasilnya adalah kecapean, stres, bahkan berakibat krisis, baik kesehatan atau hubungan social. ASN di kuadran ini, bisa jadi tidak sempat berpikir sesuatu yang strategis dan jangka panjang. Irama kegiatannya selalu berada dalam kegentingan. Merasa berada dalam tekanan tinggi untuk menuntaskan kegiatan sesegera mungkin. Sun cost atau factor terlanjur, juga sering menjadi alasan. Bahwa pekerjaan sudah tanggung dikerjakan dan bawahan tidak siap.
Pada kuadran ketiga, ASN selalu terjebak dengan kegiatan tidak penting namun mendesak. Staf umumnya selalu ingin cepat-cepat menyelesaikan tugas hanya untuk bisa meluangkan waktu berkumpul dan berdiskusi dengan teman atau kolega. Karena alasan kemendesakan, seringkali kita menemukan pimpinan yang langsung mengerjakan pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan bawahannya. Mereka umumnya sulit memilah apakah kegiatan itu bisa didelegasikan atau tidak.
Bersyukurlah ASN yang berada dalam kuadran kedua, penting tapi tidak genting. Berada dalam kuadran ini ASN bisa fokus pada kegiatan-kegiatan yang strategis dan selaras dengan pencapaian visi hidup atau visi organisasi. Meskipun demikian, mereka tidak menjalaninya dibawah tekanan kegentingan yang tinggi. Dibalik tugas-tugas berat, mereka masih banyak waktu untuk kegiatan ibadah, merumuskan perencanaan hidup, meningkatkan keahlian, menggali peluang lain, berolah raga, membangun relasi dan jejaring, dan yang lebih penting banyak waktu bersama keluarga. Covey merekomendasikan kita selalu berada di kuadran ini.
Menurut Covey, orang yang fokus pada Kuadran kedua adalah ciri orang proaktif. Mereka tidak membiarkan dunia eksternal mengendalikannya sehingga ia merasa dalam tekanan deadline dan irama kegentingan. Mereka memiliki tujuan dan visi hidup, inisiatif bertindak dan bergerak maju, dan fokus pada lingkaran pengaruh diri keluar. Orang proaktif selalu bertanggungjawab atas keputusannya sendiri dan tidak menyalahkan keadaan atau orang lain. Sebaliknya orang reaktif fokus pada lingkaran pengaruh luar terhadap pikiran dan tindakan diri, sehingga ketika menemui masalah orang reaktif sering menyalahkan keadaan dan orang lain.
Dengan memahami perlaku ini, seorang pimpinan bisa mengambil sikap atau kebijakan apa yang bisa mengubah seorang ASN dari kinerja yang paling rendah menuju pada kuadran dengan kinerja yang paling produktif. Mempermalukannya sama tidak efektifnya dan bahkan bisa lebih buruk dari perilaku sang ASN. Masih ada instrument sanksi yang lebih tepat dan tegas.
Bagi ASN sendiri ini adalah sebuah pembelajaran. Prinsipnya ada pada kemauan, latihan dan praktek dan merubahnya menjadi character ethics Seperti kata James Clear, sesuatu yang dikerjakan terus menerus akan menjadi kebiasan rutin (atomic habit) yang kemudian berkembang menjadi kekuatan. Sebaliknya, seperti kata Levitt dan Dubner jika gambaran insentifnya adalah dorongan berbuat buruk maka hasilnya adalah kinerja rendah bahkan korupsi.
Maka pilihannya kepada ASN sendiri. Apakah mau jadi pembelajar mengelola perilaku dan kegiatannya agar selalu ada di kuadran satu atau justeru menyia-yiakan seluruh waktu pengabdiannya di kuadran empat. Jika ASN proaktif sadar betul bahwa ia adalah pemimpin untuk dirinya sendiri, maka ASN yang berkinerja rendah hanya memberi cek kosong kepada orang lain untuk menentukan masa depannya.
So, lepas dari jabatan apa yang pernah dipegang , prestasi apapun yang pernah dicapai, seorang ASN minimal harus memiliki visi untuk dirinya, keluarga atau tempat dimana dia bekerja. Paling sederhana, pensiunlah dengan sebuah kehormatan!