Gorontalo, mimoza.tv – Dari bilik kamar berukuran sekitar 3 X 2 itu, suara Muis Adjulani membalas salam wartawan mimoza.tv saat berkunjung di rumah kontrakannya di Jalan Tirtonaldi, Kelurahan Tanggikiki, Kecamatan Sipatana, Kota Gorontalo.
Saat beranjak dari ruang kamar yang terbuat dari lembaran tripleks itu, Muis menggunakan tongkat, di tuntun oleh Febrianti Adjulani putri pertamanya.
Setelah dipersilahkan duduk, hujan deras mengawali wawancara awak media ini dengan Muis, pria 47 tahun yang hampir 20 tahun menderita tumor ganas di wajahnya. Luka di wajahnya ditutupi lipatan kertas kertas tissue
Sambil menghela nafas dalam Pak Muis, begitu orang memanggilnya, menceritakan awal mula terkena Tumor Ganas.
“Waktu itu sekitar tahun 1999, bermula dari luka seperti goresan jarum di hidung, yang lama kelamaan membesar hingga saat ini,” jawab Muis saat diwawancarai.
Dirinya tak menyangka, jika luka yang hanya seperti luka biasa saja itu jadi tumor ganas yang saat ini nyaris menggorogoti wajahnya.
“Nanti setelah membesar luka di hidung itu, tahun 2009 saya di operasi di Rumah Sakit Aloe Saboe, dan merupakan operasi pertama kali,” ujar suami dari Nangsih Ibrahim ini.
Untuk membiayai itu, Muis menjual rumah yang merupakan satu satunya harta miliknya. Selain rumah, kedua putrinya juga harus berhenti bersekolah.
“Rumah itu laku 4 juta, dan uangnya saya gunakan untuk berobat. Jadi untuk mengurangi biaya pengeluaran, anak pertama dan yang terakhir dengan terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya,” kata Muis dengan nada sedih
Muis menceritakan, beberapa kali menjalani operasi dan perawatan di Gorontalo tak membuahkan hasil, dirinya pun dirujuk ke rumah sakit di Makassar, Sulawesi Selatan untuk menjalani operasi dan kemoterapi. Waktu itu mata kanannya mulai digerogoti kanker, hingga akhirnya luka, hancur dan akhirnya dikeluarhan.
Lanjut dia, saat menjalani operasi dan perawatan medis di Makassar, seluruh biayanya berasal dari warga masyarakat. Banyak warga yang prihatin melihat kondisinya, lantas mengunggahnya ke Facebook, dan dari situlah banyak warga yang datang membantu.
“Dari enam kali menjalani perawatan di rumah sakit di Makassar, lima kali jalani perawatan itu dananya dari warga masyarakat yang iba dengan kondisi saya seperti ini. Hanya sekali di bantu oleh pemerintah, dimana seluruh biayanya di gratiskan,” kata buruh bangunan ini.
Untuk mencukupi biaya perawatan dan kebutuhan sehari-hari, Sang istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ningsih saat ini bekerja di sebuah perusahaan pembuat roti. Sedangkan Yuliana Adjulani putri bungsu mereka, saat ini bekerja sebagai pengasuh anak. Ia berhenti bersekolah di bangku kelasi 1 SMP
“Febriani Adjulani putri saya yang pertama, dia hanya sampai lulus SMP saja, saat ini kesehariannya hanya di rumah menjaga dan merawat saya. Kalau putri saya yang ke dua namanya Sabrina Adjulani. Saat ini tengah berkuliah di Universitas Gorontalo. Ini berkat bantuan dari ibu Gubernur Gorontalo, melalui program Bidik Misi,” jelas Muis.
Saat ini ia bersama keluarganya tinggal di sebuah kecil kontrakan. Setahun dia diharuskan membayar uang sebesar 4 juta untuk biaya sewa.
Ditanya harapannya ke depan dengan kondisi seperti ini, dirinya hanya pasrah saja dengan keadaan.
“Mau berharap sembuh, sudah tentu semua manusia ingin, tapi dengan keadaan seperti ini, jika pemerintah berkenan membantu untuk biaya pengobatan saya, saya berfikir uang itu untuk membelikan rumah saja, meskipun itu hanya rumah kecil sederhara. Kelak jika saya mati, keluarga yang saya tinggalkan punya tempat tinggal,” tandasnya dengan nada sedih.(luk)