Pasangan capres-cawapres Joko Widodo (ketiga kiri) dan Ma’ruf Amin bersalaman dengan pasangan lawan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno usai debat. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Soal pilihan politik tak ubahnya seperti keyakinan dalam memilih sebuah agama, seolah sosok pemimpin politik menjadi penentu ‘selamat’ atau tidaknya semua orang.
Sebab, prinsip ‘keselamatan’ (salvation) tentu saja ada dalam semua agama dan setiap pemeluknya meyakini bahwa agama yang saat ini diyakininya mampu menyelamatkan seluruh hidupnya hingga nanti dibangkitkan kembali di Hari Kiamat.
Pidato Cawapres nomor urut 01, Ma’ruf Amin, di Trenggalek seolah mempertegas soal pilihan politik yang linier dengan keyakinan agama di mana setiap orang bebas menentukan keyakinan dan tak perlu memaksakan keyakinan dirinya kepada orang lain.
Diksi “bagimu capresmu dan bagiku capresku” yang diungkapkan Ma’ruf memang mengadopsi dari bahasa Alquran, “lakum diinukum waliya diini” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Pilpres 2019 sarat narasi-narasi keagamaan dan bahkan kerap dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.
Pilihan politik seolah menjadi ‘sakral’ tak ubahnya kepercayaan terhadap agama, bahkan maraknya entitas bahasa agama yang masuk ke dalam ruang-ruang publik-politik seolah menjadi semacam perjuangan agama itu sendiri.
Politik yang bernilai profan lalu diubah menjadi bergaya ‘profetik’ seolah mereka yang menyebarkan keunggulan setiap kandidatnya menjadi nabi-nabi politik bagi umatnya.
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Ma’ruf Amin bersiap mengikuti Debat Pertama Capres & Cawapres 2019, di Hotel Bidakara. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Banyak sekali ungkapan atau meme yang disebarkan dengan mengolah diksi keagamaan untuk hal-hal terkait politik pencapresan. Sebut saja, misalnya, ada meme dengan mengusung gaya jihadis dengan latar seorang ustaz dengan tulisan, “Menggunakan Islam untuk kepentingan politik itu haram, menggunakan kekuatan politik untuk tegakkan Islam itu wajib”.
Ini disebarkan dalam konteks suksesi politik nasional, di mana seolah-olah ketika kekuatan politik itu dipergunakan untuk menegakkan agama itu diwajibkan. Padahal, Islam sendiri dapat tegak karena umatnya salat dan akan runtuh seluruh tiang-tiang penyangga agamanya karena banyak umat muslim sendiri meninggalkan salat. Islam tegak karena salat bukan karena kekuatan politik!
Diksi-diksi keagamaan memang telah jauh masuk ke dalam ruang-ruang politik, bahkan telah sedemikian marak mencemari cara beragama dan berpikir setiap orang terhadap kenyataan politik.
Bagaimana tidak, pilihan politik seolah menjadi agama itu sendiri lalu dikupas sedemikian rupa melalui ceramah-ceramah keagamaan dengan menyampaikan pesan-pesan tertentu yang dimanipulasi secara politik.
Simbol keulamaan yang melekat pada seseorang sebagai penyedia kebutuhan rohani umat, seolah berubah menjadi simbol pemecah-belah yang sedemikian parah, ketika diksi-diksi keagamaan yang dipoles digunakan sedemikian rupa untuk mempertegas pilihan politiknya kepada salah satu kandidat.
Saya sendiri sangat menyayangkan ketika Ma’ruf Amin kerap kali menggunakan diksi keagamaan ketika menyampaikan pidato politiknya. Bukan apa-apa, label keulamaan semestinya tetap melekat pada dirinya sebagai sosok pengisi rohani umat yang membutuhkan, tidak lantas luntur atau hilang karena dirinya saat ini tengah menjadi salah satu kandidat politik.
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kiri) dipijat pasangan cawapresnya Sandiaga Uno saat jeda Debat Pertama Capres & Cawapres 2019. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)
Cukuplah agama menjadi entitas substantif yang mewarnai setiap proses politik, bagaimana soal kejujuran para kontestannya, niat yang tulus mereka untuk memperbaiki kondisi negeri dan mampu menciptakan kesejahteraan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali.
Terlalu jauh jika soal pilihan politik disandingkan dengan keyakinan agama, di mana politik berasal dari pilihan-pilihan rasional dan agama jelas berdasarkan pilihan irasional karena berasal dari hidayah Tuhan, bukan atas dorongan pilihan pribadi seseorang.
Entah kenapa, Pilpres 2019 terasa sangat jauh berbeda dengan drama-drama di pilpres sebelumnya yang tanpa diksi agama pun semua berjalan lancar dan biasa-biasa saja. Memang, kenyataan pilihan politik yang hanya memungkinkan memilih satu di antara dua kandidat menciptakan suasana politik yang semakin tampak tidak nyaman bagi sebagian orang.
Tak adanya kandidat lain sebagai pilihan membuat ada di antara masyarakat yang tak peduli dengan situasi ini lebih memilih golput atau minimal tak ikut-ikutan menambah masalah dalam ritme besar tarik menarik kepentingan antara dua kubu pendukung kandidat politik ini.
Golput tentu saja pilihan rasional bahkan paling rasional ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan politik yang cenderung ‘dipaksakan’ seolah diperhadapkan pada pilihan dalam hal keyakinan atau agama.
Jika memang realitas politik hanya diukur oleh diksi “bagimu capresmu, bagiku capresku” atau di sisi lain menganggap bahwa kekuatan politik wajib dipergunakan untuk menegakkan agama, telah secara tegas menyepelekan mereka yang berprinsip netral dalam berpolitik, di mana mereka tak ada pilihan lain di antara keduanya sebab, “baginya adalah golputnya”.
Memilih untuk tidak memilih juga merupakan bagian dari bentuk aspirasi politik yang rasional, tanpa harus diarahkan, ditunjukkan, apalagi dicekoki drama-drama politik yang menjengkelkan.
Sebab politik bukanlah agama yang wajib dipilih, maka golput mewakili kalangan yang paling rasional karena menghindari aspek keagamaan secara kognitif yang dipaksakan hidup dalam sebuah ruang besar politik.
Saya bukan sedang menganjurkan untuk golput, sebab golput dalam konteks pilihan politik tak ubahnya pribadi yang gamang tak punya pendirian.
Namun persoalannya, menjadi golput di era kekinian dengan dihadapkan pada realitas sosial-politik yang saling bertentangan dengan tujuan untuk lebih ‘mendamaikan’ seteru politik kedua belah pihak, masih dianggap perlu.
Menyuarakan golput bukan berarti tak memilih tetapi lebih kepada tak memihak sebab pilihan itu pada akhirnya akan kembali kepada diri masing-masing dan dilakukan secara tertutup dalam bilik-bilik suara. Jika sudah tahu pilihan politik masing-masing, maka tak perlu lagi rasanya meyakinkan semua pihak dengan berbagai dalih ‘kebenaran’ yang saling diperebutkan.
Jika Ma’ruf Amin mengulang kembali diksi keagamaan dalam politik dengan menyebut ‘tawasuth‘ (prinsip jalan tengah dalam pilihan), maka prinsip ini berlaku untuk ‘tidak memihak’ tetapi lebih menawarkan prinsip bagaimana agar kenyataan dua kubu yang saling bertentangan tidak kita ikuti atau malah masuk menjadi pendukung salah satunya.
Prinsip ‘tawasuth‘ berarti kita harus berada dalam posisi ‘mendamaikan’ bukan ikut larut dalam berbagai pertentangan politik. Itulah kenapa, Imam Syafi’i pernah mempopulerkan sebuah adagium, “fa idza shahha al-hadiits fahuwa madzhabii” (jika ada dalil yang lebih kuat, maka saya akan ambil sebagai caraku bermazhab).
Sungguh, politik tak berkaitan dengan soal keyakinan yang diidentikkan dengan pilihan beragama, pun bukan soal perbedaan mazhab yang kadang antara satu dan lainnya saling kontradiktif.
Politik adalah suksesi kepemimpinan yang dijalankan melalui cara-cara paling rasional dengan prosedur-prosedur yang telah disepakati bersama. Bahkan lebih jauh, politik adalah bagaimana soal kekuasaan, kehormatan, dan kemewahan materi kita raih dan kita rebut dari pihak lain.
Para golputers tampaknya lebih adil dalam memandang setiap kenyataan politik, tanpa harus mempertentangkannya atau mendukungnya, tetapi lebih memberikan kebebasan sebagaimana setiap prosedur suksesi politik itu disepakati bersama.
Jadi wajar jika pendukung golput tampaknya mulai tumbuh, membangun ide-ide segar berpolitik secara lebih rasional bahkan jauh lebih arif dari kenyataan dua kubu yang saat ini sedang berkontestasi.*
Penulis: Syahirul Alim