Oleh : Funco Tanipu
Kasus Lesti yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dari suaminya Rizky Billar membuat emosi netizen membuncah. Puncaknya ketika Lesti mencabut laporan ataa dugaan KDRT yang dilakukan Rizky Billar. Netizen kecewa, kenapa Lesti harus memaafkan suaminya?
Namun, jika merujuk data BPS tentang KDRT tahun 2018, rupanya Gorontalo adalah daerah dengan kasus KDRT tertinggi di Indonesia.
Gorontalo menempati urutan pertama dengan rasio 81,1. Artinya, setiap 100.000 rumah tangga di Gorontalo terdapat 81 kasus KDRT. Selanjutnya Sulawesi Selatan (55,5) dan Sulawesi Tengah (46,2). Ketiga provinsi tersebut telah melebihi rata-rata rasio KDRT nasional yang sebesar 20,9 (databoks.katadata.co.id).
Berdasarkan data Kemen PPPA, hingga Oktober 2022, ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, 16.745 (79,5 persen) di antaranya dialami perempuan.
Pada Juni 2022, Kapolda Gorontalo menyampaikan ada 4 kasus per minggu terkait KDRT. Artinya, setiap bulan ada sekitar 16 kasus yang terjadi.
Data lain menunjukkan, Polres Gorontalo juga mencatat ada kenaikan jumlah kasus KDRT selama pandemi tahun 2020, sebelumnya pada 2019 angka kasus KDRT sejumlah 42 kasus, dan pada 2020 melonjak menjadi 47 kasus KDRT.
Dari angka-angka diatas tentu masih diatas kertas. Masih banyak kasus-kasus lain yang tidak terungkap ke permukaan, termasuk yang dilaporkan ke pihak yang berwajib.
Jika dilihat dari data Kemen PPA, ada beberapa faktor yang menjadi dasar dari KDRT. Salah satu faktor adalah (1) model dari pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya memiliki potensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, (2). faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu. Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, (3) ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.
Faktor lain (4) jika perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya.
Termasuk faktor sosial (5) yang dialami bagi perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.
Kerentanan perempuan terhadap KDRT tentunya menjadi hal urgen untuk segera dicarikan solusi.
Kasus Lesti adalah puncak gunung es dari ribuan kasus yang sama dan bahkan lebih tragis. Bagi media, tentu kasus Lesti adalah hal yang “menarik”, karena berhasil menarik minat penonton hingga bisa mengaduk-ngaduk emosi penonton.
Tapi, apa yang telah Lesti lakukan sebenarnya adalah upaya “normalisasi” KDRT hingga bisa “melegalkan” KDRT itu sendiri. Di sisi lain, kasus Lesti hendak membangun wacana bahwa kekerasan itu “dibolehkan”, selagi ada upaya untuk membangun kembali situasi yang “harmonis”.
Tentu, upaya serius terkait meminimalisir KDRT adalah mewacanakan rumah tangga tangguh, yang dipersiapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. Rumah tangga yabg tangguh tentu harus multi stakeholder yang berperan, misal KUA, Pemerintah Desa, Lembaga Adat dan keluarga kedua belah pihak. Kolaborasi antar stakeholder menjadi penting untuk membentengi kasus-kasus serupa.
Termasuk bagaimana membangun peta kerawanan rumah tangga yang berbasis pedesaan, Kades dan perangkatnya perlu membentuk kelembagaan yang bersifat swadaya-partisipatif untuk terus melakukan edukasi, advokasi hingga monitoring terhadap rumah tangga yang memiliki tingkat kerawanan tinggi terhadap kasus KDRT. Ini tentunya bisa disinergikan dengan program pemberdayaan ekonomi keluarga dan program ketahanan sosial keluarga.