Gorontalo, mimoza.tv – Ahmad Benyamin Danial selaku Penasehat Hukum (PH) dari terdakwa Ibrahim dan Farid Siradju mengungkapkan, ada perbedaan pemahaman soal daftar noninatif (danom) yang akan dijadikan dasar penilaian oleh tim Appraisa.
“Pemahaman kami, Appraisa melihat danom itu sudah lengkap. Disana sudah tercantum daftar luas tanah. Fakta persidangan menunjukan setiap desa itu ada dua daftar nominatif yang saling melengkapi. Itu pernyataan dari saksi Ruslan Emba. Dia menyatakan itu saling melengkapi,” kata Danial, diwawancarai awak media usai persidangan.
Dalam danom itu lanjut dia, seluruhnya ada luas tanah, luas bangunan dan tanaman. Sementara untuk alas hak, ada yang terisi dan ada yang tidak.
“Appraisal menerima itu, betul. Buat kami sudah cukup. Disitu sudah tertulis sertifikat. Makanya penilaian kami adalah sertifikat dan luar sertifikat. Pemahaman teman-teman di kejaksaan ini harus lengkap alas haknya. Tidak ada yang kosong-kosong. Kalau buat kita itu sudah cukup,” ucap Danial.
Danom dan peta bidang itu lanjut Danial, dibuat oleh Satgas A dan Satgas B dan dilaporkan kepada Kepala BPN Gorontalo, yang juga Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, dalam berita acara, ditandatangani dan sah diakui. Setelah diserahkan, kata dia, keduanya diserahkan kepada Appraisal berdasarkan permohonan.
“Tugas Appraisal itu melakukan penilaian terhadap objek. Ada surat tugasnya, ada dalam undang-undang. Adapun objek yang dinilai meliputi objek tanah, bangunan, tanaman, ruang atas maupun bawah, maupun benda lain yang dapat dinilai,” tutur Danial.
Dalam konstruksi hukum dakwaan itu lanjut Danial, Kejaksaan mengaitkannya dengan dasar pembayaran SPPF.
“Konstruksi hukum dakwaan terhadap klien kami, mereka mengatakan ada kelima-limanya. Bahwa perbuatan kita menilai suatu objek itu kemudian mengakibatkan kerugian negara. Mereka mengaitkan dengan pembayaran dengan dasar SPPF. Tapi kita tau SPPF itu di buat dan dilengkapi di akhir pembayaran. Kita tidak punya kewenangan untuk melarang itu atau tidak. Karena kewenangan BPN untuk menentukan siapa yang bisa di bayar dan tidak,” tutur Danial.
Lanjut dia, untuk bisa di bayar, BPN menyatakan harus ada SPPF.
“Ternyata SPPF tersebut secara materil tidak memenuhi syarat. Harusnya yang melakaukan verifikasi adalah BPN. Dia tidak bisa hanya menerima SPPF kemudian harus di bayar. Makanya dalam keterangan salah satu saksi dari BPN, dia melakukan wawancara terhadap pemilik yang bersangkutan. Kemudian faktanya adalah saksi-saksi ini punya hunungan dengan pemilik, itu tidak ada hubungan dan bukan kesalahan kami,” ucap Danial.
Dirinya menambahkan juga, jika ada kepala desa (Kades) yang mengaku tidak kenal dengan terdakwa, itu pasti bohong. Menurutnya kepala desa dan perangkatnya itu punya peranan besar dalam tim persiapan. Mereka kata dia yang menyuplai data-data PYB, yang akan menjadi data awal.
Kemudian saat masuk pada pelaksanaan, ada Satgas A dan Satgas B yang tugasnya melakukan identifikasi dan inventarisasi di lapangan. Dalam fakta persidangan lanjut dia, kades dan perangkat desa juga yang menyuplay data-data.
“Setelah kita ditetapkan sebagai penilai, BPN mengundang para Kades serta pihak lainnya untuk hadir dan mendengarkan paparan cara kerjanya Appraisal. Ada dua hal, yang pertama, Kades menyuplai data, dan yang ke dua, Kades mengetahui ada Appraisalyang akan turun. Appraisal yang akan turun ini ada dua cara. Yang pertama undangan di BPN, dan yang ke dua melalui pemgumuman dari Appraisal yang di temple di setiap desa. Jadi kalau mereka katakana tidak tau ada Appraisal, itu tidak mungkin,” tutup Danial.(red)