Oleh: Funco Tanipu. Peneliti Indeks Tata Kelola Pemerintahan Indonesia Kemitraan – AusAid 2012 – 2014.
Dalam sebuah rekaman, yang informasinya pada sebuah acara atau apel di lingkungan Pemda Boalemo, Bupati Boalemo Darwis Moridu terdengar marah-marah.
Jika saya kerucutkan, ada dua hal yang dia sampaikan : pertama tentang loyalitas dan kedisiplinan dan larangan “asal bapak senang”. Sisanya adalah “untaian” kata-kata yang bagi sebagian kalangan membuat merah kuping.
Reaksi di media sosial pun beragam. Begitu pula reaksi dari ASN di daerah dan institusi lain. Semua protes dan tidak terima dengan cara seperti itu.
Tapi, setelah saya dengar berulang-ulang, sebenarnya yang dia “harep” itu hanya ASN Boalemo. Bukan ASN di daerah dan institusi lain.
Pertanyaan yang penting diajukan sederhana ; (1). Apakah ASN Boalemo tersinggung dan marah dengan pernyataan Bupati Boalemo? (2). Jika ASN Boalemo tidak tersinggung dan marah dengan pernyataan Bupati Boalemo yang juga adalah pimpinan ASN disana, apakah ASN Boalemo memang “nyaman” dengan hal seperti ini?
Kalau sekiranya jawaban ASN Boalemo tidak tersinggung dan tidak marah, hingga bahkan “nyaman” dengan cara seperti itu, berarti ASN di Boalemo setuju dengan pola “pendisiplinan” dan “kepemimpinan” seperti itu. Karena jika marah, tersinggung dan bahkan tidak nyaman, maka pasti ASN Boalemo akan melakukan perlawanan.
Bupati Boalemo, dalam beberapa berita yang viral selama ini, saya lihat punya “keunikan” dalam menata birokrasinya, yang itu berbeda sekali caranya dengan Pak Syarif, Pak Nelson, Pak Indra, Pak Marten dan Pak Hamim.
Bisa jadi, dan itu perlu pembuktian, cara dan pola kepemimpinan Bupati Boalemo bisa diasumsikan sebagai cara yang “tepat” untuk menata birokrasi di Boalemo.
Pembuktian tentu perlu pengukuran. Dalam pengukuran sederhana, beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah (1). Apakah kinerja ASN di Boalemo meningkat dengan penerapan pola seperti itu? (2). Ukuran kinerja ada pada tata kelola pemerintahan, apakah prinsip governance (efektifitas, efisiensi, transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan) menjadi lebih baik? (3). Apakah indeks pembangunan menjadi lebih baik, misalnya kita menggunakan tujuan SDGs dalam mengukur. Apakah tujuan mengentaskan kemiskinan turun? Apakah kelaparan, gizi buruk, kesehatan ibu dan anak, layanan fasilitas kesehatan, hingga tujuan-tujuan standar pembangunan berkelanjutan tercapai atau bergerak angkanya ke arah lebih baik? (4). Apakah perilaku ASN ikut berubah menjadi lebih baik, dalam artian kinerja naik walaupun mesti bekerja dalam tekanan dan pola represif seperti yang terjadi?
Pengukuran ini penting diajukan untuk membandingkan pola kepemimpinan Bupati Boalemo dan ketercapaian tujuan pembangunan serta perubahan kinerja ASN menjadi lebih baik.
Jika diasumsikan bahwa semua tujuan dan target pembangunan “lari jauh” dan meleset dari apa yang direncanakan dalam dokumen perencanaan daerah seperti RPJPD, RPJMD, Renstra, Renja dll, maka dipastikan pola kepemimpinan Bupati Boalemo harus diubah 180 ⁰.
Namun, dalam sistem demokrasi, salah satu resiko terbesar dari sistem pemilihan kepala daerah langsung adalah “salah pilih”. Tetapi, itulah kenyataan dari pola rekrutmen elit daerah sebagai konsekuensi dari demokrasi. Kritik dan termasuk koreksi terhadap kepemimpinan politik hanya dimungkinkan melalui jalur formal. Kritik mesti terlembagakan dan sah sebagai koreksi. Jika itu tidak mempan, maka Pilkada salah satu cara efektif untuk mengoreksi kepemimpinan yang keliru.
Kenyataan yang lain, banyak rakyat yang lebih suka dan senang dengan tipe pemimpin yang blak-blakan, namun mereka anggap punya kepedulian. Tafsir peduli biasanya diartikan dengan rajin bagi-bagi bantuan, rajin silaturrahmi dan banyak “kuti-kuti. Ini adalah fakta politik lokal yang hari ini terjadi di hampir seluruh penjuru Indonesia.
Dari semua itu, kejadian yang viral ini menjadi penting untuk beberapa hal ; (1). Kepala Daerah bukan saja pimpinan birokrasi dan elit politik, namun juga sebagai Wuleya Lo Lipu, penting untuk menyeimbangkan ketiga dimensi struktural tersebut agar kosmos politik selalu stabil. (2). Kepala Daerah, dan juga lingkarannya, penting untuk melakukan harmonisasi kegiatan politik dan birokrasi agar tidak tumpang tindih. Menjadi catatan penting bagi staf ahli, staf khusus hingga tim kerja untuk memberi input positif dalam rangka mensupport kegiatan Kepala Daerah, sehingga performance Kepala Daerah itu bisa selalu prima. (3). Menjadi penting bagi partai politik untuk bisa melakukan rekrutmen elit politik dengan pola yang lebih ketat, tidak sekedar asal “sewa perahu” tapi juga kontrak kinerja selama periode pemerintahan, karena performance Kepala Daerah beririsan dengan wajah partai politiknya. (4). Menjadi penting bagi organisasi masyarakat sipil untuk aktif berpartisipasi dalam pengawan kinerja pemerintahan, dan yang lebih penting pengawasan yang berbasis pada pengukuran kinerja yang obyektif dan rasional. (5). Pola komunikasi massa yang selama ini masih mengacu pada pola lama, mesti segera diubah polanya menjadi lebih sejuk, komunikatif, efektif dan bisa direspon publik secara terang hingga tidak menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip komunikasi massa. Peran kehumasan menjadi urgen di tengah era post truth seperti sekarang ini.
Semoga tulisan pendek ini bermanfaat dalam hal menjernihkan kembali “viralnya” Bupati Boalemo di media sosial.