Gorontalo, mimoza.tv – Kondisi kelebihan penghuni atau over crowding hingga saat ini masih menjadi salah satu persoalan pelik yang dihadapi oleh Lembaga Permasyarakatan (Lapas) maupun di dan Rumah Tahanan (Rutan) di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan pembinaan, Program Rehabilitasi dan berbagai Inovasi perubahan terhambat atau tidak Optimal, bahkan tidak jarang menimbulkan kesulitan dalam pengendalian keamanan serta terhambatnya pelaksanaan keselamatan.
Mengurai benang kusut permasalahan tersebut, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ( Ditjenpas ) R.I melalui Kanwil Kemenkumham Provinsi Gorontalo mengadakan kegiatan Rapat Koordinasi dan Sosialisasi Surat Keputusan Bersama ( SKB ) tentang Implementasi Keadilan bagi Restoratif Pelaku Dewasa, yang digelar di salah satu hotel di Kota Gorontalo, Rabu (2/6/2022)
Direktur Bimbingan kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Kemenkumham RI, Pujo Narinto saat diwawancarai disela-sela kegiatan menjelaskan, berdasarkan hasil riset Dirjenpas dan Center Detention Studies, jika tidak dilakukan langkah progresif penanganan over crowded melalui pengurangan narapidana yang masuk, maka dipredisikan pada tahun 2025, dapat mencapai 136 persen.
Berdasarkan angka itu kata Pujo, dapat diartikan Kemenkumham membutuhkan ruang hunian baru baik Lapas maupun Rutan untuk sejumlah 311. 534 narapidana, yang tentunya akan anggaran yang tidak sedikit.
“Kam memang telah melakukan pengurangan itu melalui program asimilasi. Akan tetapi itu belum mengatasi secara keseluruhan permasalahan over crowded. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Anak, telah menggeser paradigma perlakuan anak berkonflik dengan hukum. Dengan demikian, undang-undang itu dititikberatkan pada upaya restorasi dan perlindungan terbaik bagi anak,” ucap Pujo.
Atas dasar keberhasilan penerapan Restorative Justice (RJ) dalam penanganan perkara pada anak itu kata dia, perlu di adopsi dalam penyelesaian perkara orang dewasa.
Penerapan RJ pada orang dewasa ini kata dia, sudah mulai di implementasikan pada institusi Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan, melalui Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.
Denga adanya RJ ini kata dia, tentu akan memberi dampak menurunnya angka orang yang masuk penjara.
“Restorative Justice ini akan memberi dampak pada menurunya orang yang masuk penjara. Saya kira tidak semua pelaku kejahatan harus masuk Lapas. Ada alternative-alternatif pemidanaan yang bisa kita dorong untuk menegakkan keadilan. Saya berharap apa yang dilakukan di Gorontalo ini akan jadi percontohan di daerah lain di Indonesia.
Sementara itu Kepala Kejaksaan Negeri Kota Gorontalo M. Rudy, SH,. MH. menambahkan, pihaknya mendukung penuh langkah Kemenkumham terkait dengan keadilan restirative. Bahkan kata dia, di lingkup Kejaksaan sendiri proses penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan mengacu pada Perja No.15 Tahun 2020.
“Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Penghentian penuntutan berdasarkan RJ ini dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir , cepat sederhana dan biaya ringan,” ujar M Rudy.
“Kebijakan RJ ini melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) No.15 Tahun 2020, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021. Kita berharap, RJ ini mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan selesai tanpa proses ke meja hijau,” tutup M Rudy.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Gorontalo, Ketua Pengadilan Negeri Gorontalo, dari pihak Kejaksaan maupun dari Kepokisian.
Pewarta : Lukman.