Gorontalo, mimoza.tv – Terkait polemik antara Rahmat Kaluaran selaku mantan dosen dengan Universitas Ichsan Gorontalo (Unihsan), DR Djafar Ibrahim selaku mantan dosen di universitas itu juga angkat bicara.
Djafar menyebut, dari segi kebijakan-kebijakan, Unihsan Gorontalo banyak melanggar aturan. beberapa kebijakan yang dianggap melanggar aturan tersebut adalah pembayaran SPP sebagai paket dari ujian semester. Kata dia, sebenarnya hal tersebut tidak boleh.
“Seharusnya paketnya itu nanti mendaftar pada mahasiswa yang baru, semester baru. Praktek yang selama ini adalah membayar SPP itu sebagai persyaratan UAS. Ini tidak boleh, dan melanggar hak asasi mahasiswa, bahkan akan menambah penderitaan para orang tua mahasiswa,” jelas Djafar, saat diwawancarai di Pengadilan Tipikor/PHI, Rabu (4/12/2019).
Termasuk juga kata Djafar, adalah pembayaran kartu ujian yang mencapai 350 ribu. Padahal hanya kertas sepenggal saja. Belum lagi yang menjadi hak ujian itu adalah hak yang sudah terbayar. Itu juga dilanggar.
Selain itu kata dia, persoalan lainnya adalah pegawai di yayasan tersebut yang tidak mendapatkan fasilitas BPJS. Malahan pihak kampus mengatakan jika suka, harus mendaftar sendiri dan bayar sendiri, baik itu BPJS Kesehatan, maupun Ketenagakerjaan.
Masalah kesejahteraan juga kata mantan dosen ini, di Universitas Ichsan Gorontalo ini juga tidak ada istilah Tunjangan Hari Raya (THR).
“Yang ada itu hanya paket lebaran. Ada gula, ada susu, ada minuman dan lain sebagainya. Padahal kan seharusnya THR tersebut di hitung berdasarkan 1 bulan gaji,” ucap Djafar.
Kata dia, untuk upah juga tidak menggunakan standar UMP, dan seharusnya hal tersebut ditinjau kembali.
“Gaji disitu kan macam macam, tergantung perasaannya. Kalau perasaannya senang dikasih tinggi. Kalau perasaannya kurang, alasannya yayasan tidak mampu membayar. Padahal beli mobil, beli tanah, bangun gedung,” tegas Djafar.
Dirinya mengaku, dia menjadi dosen di kampus tersebut di kontrak sebesar Rp 2,5 juta. Namun saja baru enam bulan berjalan, tiba-tiba turun menjadi Rp 1,55 juta, naik dan turun lagi. Tak hanya dirinya yang menjadi korban saja, banyak dosen yang lainnya mengundurkan diri dengan sendirinya.
“Bahkan imbasnya, gara-gara gaji yang kurang, ada beberapa mahasiswa yang di suruh membuat skripsi. Itu sudah jadi rahasia umum. Sejak saya masuk disitu, praktek itu sudah ada,” tandas Djafar.
Diwawancarai terpisah, DR Abdul Gafar La Tjokke selaku Rektor Universitas Ichsan Gorontalo membantah sejumlah tudingan yang dialamatkan ke kampusnya tersebut. Dirinya mengatakan, untuk persoalan dengan salah satu dosennya yang mengadukan ke Pengadilan Tipikor dan PHI, dia menjelaskan, sudah berbulan-bulan lamanya Rahmat Kaluaran tidak aktif lagi di kampus, bahkan tidak mengambil gajinya. Padahal menurut orang nomor satu di Unihsan ini, gaji dari kampus untuk mantan dosen tersebut sudah disediakan.
“Dia (Rahmat) ingin mengambil gajinya, asalkan sesuai dengan UMP. Sementara kita tau bersama yayasan pendidikan ini adalah lembaga sosial. Makanya kita tidak bisa menetapkan gaji dosen tersebut sesuai dengan upah standar,” kata Abdul Gafur, saat diwawancarai di ruang kerjanya, Rabu (4/12/2019).
Dirinya menjelaskan, gaji untuk dosen itu sebenarnya tidak diatur oleh Kemenristek Dikti.
“Jadi gaji yang kampus berikan itu sesuai dengan kemampuan yayasan. Tidak ada aturan yang mengatur soal gaji. Karena kemenristek Dikti tidak kasih uang ke kita. Dan coba cek di perguruan tinggi swasta lainnya, gaji dosen di Unihsan lebih tinggi dari perguruan tinggi swasta tersebut,” jelas Abdul Gaffar.
Soal pembayaran SPP juga dirinya mengatakan, aturan itu merupakan aturan yang berlaku di kampusnya.
“Itu kan aturan disini, mengapa harus jadi masalah?. Kalau perguruan tinggi lainnya kan nanti setelah ujian, dan yang terjadi adalah diperpanjang empat sampai lima kali baru bisa normal. Kalau kita disini terbayar semua,” kata dia.
Soal kartu ujian juga dia menjelaskan, sebenarnya tidak ada yang namanya kartu ujian. Yang benar itu adalah biaya UAS, yang meliputi biaya penyusunan soal, biaya pemeriksaan, biaya konsumsi, biaya pengadaan soal, termasuk biaya pengadaan kartu ujian.
“Semua perguruan tinggi begitu. Bahkan disini lebih murah, hanya ditetapkan sekian ratus saja harganya. Kalau di tempat lainnya, ada yang ditetapkan 50 ribu per SKS, bahkan ada yang mencapai 100 ribu per SKS. Coba tanya perguruan tinggi lainnya,” ucap Abdul Gaffar.
Dirinya menyayangkan, mengapa orang dalam mempersoalkan hal ini. Sedangkan aturan yang berlaku di kampus tersebut tidak ada masalah dan semua mahasiswa ikut.
Untuk masalah BPJS juga kata dia, pihaknya sudah mensosialisasikan hal ini. Bahkan dosen yang lainnya sudah punya BPJS.
“Aturannya kan jelas, sekian di tanggung yayasan, sekian oleh dosen. Kita sanggup membayar itu. Hanya saja yang bersangkutan tidak mau mengurus. Jadi soal BPJS, begitu kebijakan kita. Sebagian di tanggung yayasan, sebagiannya lagi oleh dosen. Hanya saja dosennya tidak mau di potong. Bagaimana bisa jadi?. Coba kalau mereka siap semua, kalau sakit kan bisa gratis berobat,” kata Abdul.
Soal dosen yang mengadukannya juga Abdul Gaffar menyinggung, status jenjang pendidikan dosen tersebut masih Strata 1 (S1), yang menurut undang-undang guru dan dosen 2005, yang harus mengajar itu adalah Strata 2 (S2).
“Makanya kami beri kebijaksanaan, tawarkan dia untuk melanjutkan studinya ke S2 sampai selesai. Kita bayar biaya kuliahnya sampai selesai, tetapi yang bersangkutan tidak mau,” ujar dia.
Kata dia, sebelum sidang juga, kedua belah pihak sempat dimediasi oleh pihak Disnaker Provinsi Gorontalo, bahkan menyarankan untuk menempuh jalan musyawarah. Namun saja Rahmat Kaluaran tiba-tiba melanjutkan permasalahan ini ke pengadilan.
“Kita ikut saja. Kalupun melihat aturan yang ada, paling dia hanya dapat 30 persen saja. Sementara yang kita tawarkan mencapai 60 persen. Dan jadi saya tegaskan lagi, tidak ada yang mengeluarkan dia, tapi dia sendiri yang keluar, lalu dia ke Depnaker dan menuntut pesangon. Bahkan juga saya itu menawarkan dia, untuk membiayai pendidikan anaknya hingga S2,” pungkas Abdul Gafur.
Sebelumnya Rahmat Kaluaran melaporkan pihak Unihsan Gorontalo lantaran tak membayar pesangon, juga gaji selama sembilan bulan yang semestintya dibayarkan oleh kampus swasta di Gorontalo tersebut.(luk)