Oleh : Funco Tanipu.
Kenapa pawang hujan lebih cepat viral dibandingkan dengan iven balap motor GP itu sendiri? Apalagi media-media asing sampai menaikkan berita tersebut.
Sebab, iven pawang hujan tampil di sirkuit memang sengaja didesain untuk menambah “power” dari GP Mandalika. Pawang hujan itu memang sengaja ditampilkan oleh panitia untuk menambah “bunga-bunga” acara.
Tujuannya sederhana, orang ke sirkuit Mandalika selain untuk nonton balap motor, juga ingin menonton aksi spektakuler lain, yakni aksi pawang hujan. Target pun berhasil. Banyak yang senang dan ikut membagikan postingan pawang hujan. Evello, lembaga monitoring dan analisa digital, mencatat jika di media sosial Tiktok, ada lebih dari 100 juta orang yang menonton video pawang hujan, 6 juta yang menyukai, yang membagikan lebih dari 200 ribu orang. Itu baru Tiktok, belum Facebook, Instagram, WhatsApp, Youtube dll.
Pertanyaan lanjut, bukankah pawang hujan selalu bekerja di belakang layar? Kenapa nanti kali ini dia beraksi di depan umum, sambil menggunakan seragam lapangan seperti helm, bahkan dia melakukan aksi itu di depan Presiden dan beberapa Mentri serta elit negeri ini.
Sebagaimana kita ketahui, pawang hujan sangat jarang tampil di depan umum, apalagi hingga memperlihatkan segala pernak-pernik peralatan dan bahan penunjang aksinya. Tapi, karena ini adalah desain, maka kita tentu ingat bagaimana reality show yang sering ditampilkan televisi.
Reality show adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran. Acara dokumenter dan acara seperti berita dan olahraga biasanya tidak termasuk acara realitas. Tapi, balap motor di Mandalika berani memasukkan unsur reality show dalam rangkaian kegiatan itu.
Secara umum, reality show menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim, memancing reaksi tertentu dari partisipan, dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik pascaproduksi lainnya.
Makanya, karena hasil desain, respon publik nasional hingga internasional lebih fokus pasa pawang hujan ketimbang balap motor itu sendiri.
Pasca aksi tersebut, pasti pawang hujan itu akan menjadi “idola” baru bagi publik, walaupun ada yang ikut mencacinya, dengan berbagai alasan seperti klenik, mistis, syirik dan segala macam alasan. Panitia sudah menghitung itu dengan cermat, mereka tahu pasti ada yang berkomentar miring. Tapi sesungguhnya, desainer sangat membutuhkan komentar miring itu, karena hanya dengan interaksi berlawananlah hastag “pawang hujan” bisa naik di timeline media sosial. Mereka sudah menghitung betul algoritma media sosial.
Apapun respon publik, utamanya kebencian dan nyinyir, malah sangat dibutuhkan oleh desainer reality show ini. Tanpa itu, mereka bisa dibilang gagal. Jadi, ukuran gagal dan tidak bukan pada turun hujan atau tidak, tapi ini menjadi viral atau tidak. Apalagi hanya soal syirik dan tidak, mereka sangat tidak pusing dengan narasi itu, malah mereka membutuhkan narasi itu untuk semakin menaikkan rating reality show tersebut. Semakin kontroversial, semakin bagus.
Mereka paham betul karakter netizen Indonesia yang mudah digiring kesana kemari, apalagi yang berhubungan dengan isu agama dan identitas lainnya. Sentimen itu yang sangat dibutuhkan oleh kreator-kreator, karena tidak membutuhkan energi besar, cukup dengan memainkan isu-isu sentimen yang bisa memancing emosi publik.
Isu pawang hujan lalu menenggelamkan isu pengeras suara, isu logo halal, isu minyak goreng, dan banyak isu yang liar lainnya.
Dalam kajian sosiologi, ada yang disebut dramaturgi, bahwa apa yang diperagakan oleh pawang hujan “di depan panggung” seolah-olah murni untuk menahan hujan, tapi dibalik itu ada desain besar untuk menyentuh emosi publik yang itu beririsan dengan pengenalan keunikan sirkuit Mandalika, kekayaan budaya Indonesia, hingga destinasi-destinasi wisata daerah Nusa Tenggara Barat dan Bali yang “sudah mau roboh” dihantam pandemi.
Aksi kemarin jika dihitung dari segi biaya, tidaklah sebesar dari biaya iklan yang harus dikeluarkan untuk memperkenalkan destinasi dan iven wisata di Indonesia. Hanya dengan berjalan mengelillingi sirkuit di tengah hujan, lalu respon publik luar biasa hingga viral.
Indonesia, selain kekayaan alam, juga memiliki kekayaan budaya yang begitu banyak. Ini yang menjadi poin penting untuk dikemas dengan sedemikian rupa untuk memperkenalkan atau bahkan “mengembalikan” puluhan juta wisatasan luar negeri yang selama pandemi sulit ke Indonesia.
Sebab, jika cara mengemas dan menjualnya hanya seperti pola sebelum pandemi ; pasang iklan di web, boost iklan di media sosial, atau pameran wisata, hingga pasang spanduk dan baliho di pinggir jalan, sungguh bukan sesuatu yang bisa menggerakkan minat apalagi emosi wisatawan asing yang lebih suka keunikan Indonesia.
Dari data Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, jumlah wisatawan mancanegara anjlok 67 % atau hanya 1.67 juta jiwa dibandingkan dengan tahun 2020 sejumlah 4 juta wisman (Kemenparekraf, 2022).
Kondisi ini sangat timpang jika dibandingkan dengan umlah wisatawan sebelum pandemi yakni pada tahun 2019 sebanyak 16 juta wisman (BPS, 2020). Kondisi ini sangat miris, apalagi Bali dan Nusa Tenggara Barat adalah salah satu daerah yang ekonominya bergantung pada industri wisata.
Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan ke Bali. Bali saat ini seperti kota mati, jalan-jalan di daerah Kuta dan Legian sangat lenggang. Banyak toko yang tutup, pekerja industri wisata banyak yang pulang kampung. Sektor wisata di Bali dan NTB terintegrasi dengan sektor pertanian, perikanan dan sektor penyediaan pangan lain, banyak petani dan nelayan yang bangkrut karena tidak bisa lagi memasok pangan akibat menurunnya jumlah wisman.
Total kerugian Bali akibat pandemi sangat besar, ada sekitar 48 triliun kerugian yang dialami Bali selama pandemi berlangsung. Bahkan Dinas Pariwisata Bali mencatat kerugian sekitar 9 triliun per bulan!.
Alasan inilah yang membuat pemerintah pusat membuat terobosan seperti mengarahkan kegiatan dilaksanakan di Bali, hingga agenda Work From Bali. Tapi tidak bisa mengangkat jumlah wisawatan yang berkunjung ke Bali.
Hingga dirumuskanlah desain baru dalam menguatkan kembali branding Indonesia yang memiliki kekayaan budaya serta destinasi wisata yang unik. Apalagi Bali dan NTB khususnya yang menjadi daerah pelaksanaan balap motor GP, ritual seperti ini bukanlah sesuatu yang baru. Dan pawang hujan yang bernama Rara Istiati Wulandari adalah seorang penganut Kejawan yang tinggal di Bali. Sehingga bisa dirumuskan bahwa tujuan reality show ini memang untuk menambah kekuatan branding Bali dan NTB secara khusus dan Indonesia secara umum.