Gorontalo, mimoza.tv – Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) menilai, mantan narapidana korupsi yang meramaikan bursa kontestasi Pilkada pada bulan November 2024 nanti. Menurut Perludem, seorang politisi yang sebelumnya telah mendekam pada penjara karena kasus tindak pidana korupsi, setidaknya memiliki potensi atau kemungkinan untuk melakukan tindakan serupa jika terpilih menjadi kepala daerah.
Menurut peneliti dari Perludem, Iqbal Kholidin, pencalonan eks koruptor sebagai kepala daerah dalam Pilkada 2024 itu menunjukkan lemahnya kaderisasi oleh partai politik sebagai institusi yang memajukan pasangan calon kepala daerah.
“Hingga saat ini Perludem belum memetakan siapa saja eks koruptor yang mewarnai bursa Pilkada 2027. Terlebih, pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah, baik gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati., maupun wali kota-wakil wali kota juga baru buka pada 27-29 Agustus mendatang. Tapi beberapa berita di media sudah menunjukan indikasi adanya mantan terpidana korupsi yang mau maju. Pemilu kemarin ada data juga terkait majunya mantan terpidana Pemilu 2024. Sebagaimana yang tersampaikan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch),” ujar Iqbal dalam keterangannya yang dikutip mimoza.tv dari Lampost.co, Selasa (23-7-2024).
Sementara itu, Pusat Bantuan Hukum Masyarakat (PBHM) belum lama ini telah mengajukan Judicial Review (JR) atau pengujian materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Pasal 7 ayat (2) huruf (i) Undang-Udang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).
Ketua PBHM Ralian Jawalsen, dalam keterangannya seperti yang dikutip dari sumber berita yang lain mengatakan, Pasal 7 ayat (2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikotadan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Huruf i disebutkan “tidak pernah melakukan perbuatantercela yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”.
“Atas dasar itu, PBHM melakukan JR ke MK karena Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Karena hanya Lembaga Yudikatif MK-lah yang mempunyai kewenangan meninjau apa para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi, dan/atau pernah korupsi adalah mereka melakukan perbuatan tercela atau bukan,” ujar Ralian Jawalsen.
Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menurut Ralian, disebutkan bahwa segala warga bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, pihaknya juga mengingatkan agar MK dapat mengoreksi kembali Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan diperbolehkannya mantan narapidana mengikuti pemilihan Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan sangat paradoks dengan Pasal 7 ayat (2) huruf i yang menyebutkan, “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”,
“Maka, jika mantan narapidana koruptor meminta catatan kepolisian, dan keterangan pengadilan bertentangan dengan putusan tersebut,” tegasnya.
Ia menambahkan, Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu harus adanya supremasi, dan kepastian hukum dalam undang-undang yang berlaku, sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Penulis : Lukman.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di Lamppost.co, dengan judul : Eks Koruptor Berpotensi Kembali Korupsi Jika Menang Pilkada.