Gorontalo, mimoza.tv – Maraknya aksi kriminal dengan menggunakan senjata tajam jenis panah wayer saat ini di Gorontalo, mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Salah satunya dari Funco Tanipu.
Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Negeri Gorontalo ini menilai, fenomena panah wayer adalah hilir dari kegagalan model pendidikan di Gorontalo.
Dirinya menjelaskan, kegagalan pendidikan sekolah dan luar sekolah karena selama ini model pendidikan hanya berorientasi parsial, orientasi pada sebatas angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK), tanpa mengutamakan kualitas moral dan akhlak pelajar. Sebab rata-rata pelaku adalah pelajar sekolah.
“Pendidikan selama ini orientasinya juga parsial dalam hal pencapaian. Yang diukur hanya bagaimana mencapai angka anggaran 20 persen, lalu berapa realisasi anggaran dari 20 persen yang diukur secara kuantitatif, hingga capaian hanya di level kuantitatif, bukan kualitatif,” tulis Funco lewat pesan aplikasi Whatsapp.
Oleh karena itu kata dia, sudah harus ada gagasan model pendidikan Gorontalo yang berbasis kearifan lokal. Bagaimana pelajar (melalui sekolah) diajarkan secara mendalam mengenai adab, akhlak, moralitas. Di luar sekolah, peran keluarga dan lingkungan sangat penting.
Direktur The Gorontalo Institute ini juga menyayangkan, pembinaan melalui keluarga ini mulai jarang dilakukan. Anak-anak muda lebih banyak mengadopsi ilmu dari lingkungan dibandingkan dari orang tuanya. Sehingga, jika lingkungan negatif, maka yg diserap adalah yang negatif. Apalagi media sosial saat ini tidak bisa dikontrol kontennya, hingga banyak juga yang mengkonsumsi konten negatif yang mengandung kebencian.
“Solusinya, sudah harus ada jam belajar bagi anak-anak muda dan pelajar di rumah. Dibuatkan model pendidikan berbasis kearifan lokal khusus dalam rumah dan lingkungan. Selain itu peran lingkungan baik kelurahan, desa, masjid dan lembaga sosial mesti menjadi instrumen penting dalam membangun kultur pendidikan luar sekolah yg berbasis moral, kearifan lokal,” kata pria yang sejak 2018 menjabat sebagai Sekretaris Bidang Humas Pengurus Pusat Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI) ini.
Secara umum kata dia, pola represi menangkap, memenjara, dan menghukum penting untuk penanganan skala darurat. Namun, secara jangka panjang, pola ini tdk bs terus menerus digunakan. Karena masalah ini ada di hulu, di hilir hanya efek.
Pola pengasuhan oleh guru sekarang ini menurutnya harus lebih panjang, tidak saja di sekolah, namun hingga diluar sekolah. Sehingga bisa memonitor siapa yang menyimpang pergaulannya.
“Sistem kontestasi antar grup (gang) perlu dipatahkan dengan membangun komunitas muda kreatif. Ruang-ruang publik untuk kaum muda harus diperbanyak. Sistem sosial yang menolak bentuk kekerasan dan kriminal harus segera diterapkan,” tutup alumni Universitas Gadjah Mada (luk)