Gorontalo, mimoza.tv – Kaukus Timur Indonesia (KTI) menggelar Focus Grup Discussian (FGD) sesi ke-12 edisi Mendengar Suara dari Gorontalo. Dialog yang digelar secara daring itu mengangkat topik Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pohuwato, bersama dua narasumber dari Gorontalo masing-masing; Dr. Funco Tanipu ST. MA, Akademisi Universitas Negeri Gorontalo, dan Sarjan Lahay, Jurnalis Mongabay.
Selain para pembicara dari Gorontalo, FGD yang di pandu oleh Upi Asmaradhana ini juga dihadiri Presidium Kaukus Timur Indonesia, Uslimin Usle, Komunikolog Universitas Hassanudin, Dr. Hasrullah.
Dalam diskusi itu Dr. Funco menyampaikan beberapa solusi terkait dengan polemik tambang. Kata dia, solusi jangka pendeknya adalah harus ada komunikator atau lembaga-lembaga terkait yang bisa memediasi. Terutama lembaga yang tidak memiliki kepentingan atau lembaga yang netral, seperti lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan.
Hal menarik yang disampaikan Dr. Funco juga adalah, saat ini Indonesia tengah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), teknokratik untuk lima tahun kedepan. Dalam teknokratik itu menurut Dr. Funco, perlu untuk memasukkan unsur model tata kelola konflik yang diintroduksi dalam semua dokumen perencanaan.
“Saya sudah membaca dokumen perencanaan di setiap daerah. Hampir tidak ada pengelolaan sumber daya alam berbasis tata kelola konflik, baik itu konflik lahan maupun ketenagakerjaan. Pengelolaan berbasis lingkungan saya kira iya. Tetapi harus ditambahkan juga dengan berbasis tata kelola konflik,” ucap Dr. Funco dalam diskusi yang tayang di kanal Youtube Upi Show, Sabtu (30/9/2023).
Lanjut Dr. Funco, penambang rakyat atau penambang tradisional itu tidak bisa disebut lagi sebagai penambang illegal.
“Karena secara sah dan moral mereka yang ada di situ (baca : Pohuwato) sudah puluhan tahun. Bahkan untuk konteks Gorontalo sudah 347 tahun aktifitas tambang, dan mereka selalu terpinggirkan,” ujar Dr. Funco.
Menurutnya, hal yang perlu di lembagakan adalah Bundes- Bumdes setempat yang ada di lingkar tambang. Diaktifkan tidak sekedar simpan pinjam atau kemudian melakukan aktivitas ekonomi.
“Saya kira di Indonesia belum ada Bumdes tambang. Kami dari Universitas Negeri Gorontalo sudah mengupayakan itu dari 2 tahun lalu. Kami sudah sampaikan ke pihak Pemda maupun pengambil keputusan. Bumdes tambang ini sebagai wadah atau kelembagaan dari penambang rakyat tersebut,” ujarnya.
Sementara jurnalis Mongabay, Sarjan Lahay, dalam kesempatan itu juga menyampaikan, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan keadilan kepada masyarakat. Meski di satu sisi pemerintah dirugikan dengan adanya pembakaran kantor bupati, tetapi di sisi yang lain masyarakatlah yang dirugikan. Yang tak kalah penting kata Sarjan, adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman kepada masyarakat.
“Regulasi yang ada, atau bagaimana masyarakat bisa mendapatkan izin pertambangan. Sebenarnya banyak masyarakat yang tidak tidak tahu bagaimana mengurusnya, karena ini sifatnya sangat administratif sekali . Masyarakat yang ada dilingkar tambang ini dalam tanda kutip, tidak punya pendidikan lebih tinggi ketimbang orang-orang yang ada di pemerintahan.Solusi lainnya, pemerintah harus melakukan reformasi agrarian,” ujarnya.
Sementara Dr. Hasrullah dalam kesempatan itu menyampaikan pentingnya untuk mengoptimalkan fungsi kontrol DPR.
“Kalau dia merasa wakil rakyat, maka harus dioptimalkan fungsi kontrolnya. Dan mohon adik-adik mahasiswa di kampus harus mendesak. Karena unsur pemerintah itu ada dua, ya Gubernur dengan DPRD. Jadi coba dimanfaatkan tokoh-tokoh politik kita di DPRD untuk memperjuangkan hak-hak rakyat di Gorontalo,” tegas Hasrullah.
Sebagai penutup diskusi, Presidium KTI, Uslimin Usle berharap apa yang telah disampaikan oleh narasumber FDG itu bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
“Karena memang tujuan kita adalah bagaimana menmengangkat problem yang ada di kawasan Kaukus Timur Indonesia. Sehingga kemudian program-program kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi di situ bisa jadi atensi dan terselesaikan,” tutup Uslimin.
Penulis : Lukman.