Gorontalo, mimoza.tv – Puluhan jurnalis baik media cetak, elektronik dan online di Provinsi Gorontalo menggelar unjuk rasa di bundaran Saronde, Kota Gorontalo, Senin (23/9/2019). Aksi unjuk rasa ini digelar untuk menolak Rrevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai mengancam kebebasan pers. Pantauan wartawan ini, beberapa jurnalis terlihat membawa poster yang berisi sejumlah tuntutan.
Diwawancarai usai unjuk rasa, Andri Arnold selaku koordinator aksi mengungkapkan, kegiatan ini diikuti oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Gorontalo, Ikatan Jurnalis televisi Indonesia (IJTI) Pengda Gorontalo, Persatian Wartawan Indonesia (PWI) Gorontalo dan LPM Merah Maron.
“Kami menilai, setidaknya ada 10 pasal dalam draf revisi KUHP tersebut yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan kekebasan berekspresi,” kata Andri.
Andri, yang juga Ketua AJI Kota Gorontalo ini mengatakan, jika nantinya Draf Revisi KUHP ini nantinya akan di-sahkan dalam Rapat paripurna DPR RI pada hari Selasa (24/9), maka ini adalah sebuah kemunduran bagi dunia pers di tanah air.
“Dengan di-sahkannya revisi KUHP tersebut menjadi suatu kemunduran. Kebebasan pers tinggal kenangan. Kita akan mundur kebelakang, dan demokrasi kita tak akan pernah matang,” tegas Andri.
Selain Andri, Yudhistirah Saleh juga dalam orasinya mengecam DPR dan pemerintah yang masih mempertahankan pasal-pasal yang bisa mengkriminalisasi wartawan. Kata Yudhistirah, beberapa pasal yang bisa mengancam kebebasan pers itu antara lain; pasal 219, pasal 241, pasal 247, dan pasal 262.
“Kami meminta DPR dan pemerintah mengubah soal pencemaran nama baik itu dari ranah pidana ke perdata. Jika kedua lembaga ini masih tetap mempertahankan, berarti kedua lembaga ini terkesan tidak mengikuti perkembangan internasional, yang mendorong penyelesaian semacam itu melalui jalur perdata,” ujar Yudhistirah.
Senada dengan Andri dan Yudhistirah, hal yang sama juga diungkapkan Melky Gani. Sekertaris IJTI Pengda Gorontalo ini dalam aksinya juga menuntut DPR dan pemerintah untuk mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Melky mengatakan, pasal tersebut dengan mudah bisa di pakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan.
“Pasal ini bisa dipakai oleh penegak hukum yang buruk, untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya, atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai kepatutan atau undang-undang,” tandas melky.
Selain itu, puluhan wartawan ini juga menggelar jalan mundur dari bundaran Saronde, ke depan kampus Universitas Negeri Gorontalo, dan pelepasan burung merpati, sebagai bentuk dari kemunduran kebebasan pers di Indonesia.(luk)