Jakarta , mimoza.tv – Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, mengkritik keras para pejabat dan menteri yang dianggapnya tidak mampu menjabarkan visi Presiden Joko Widodo dalam membangun industri dalam negeri, khususnya di sektor kesehatan. Akibatnya, harga alat-alat kesehatan (alkes) dan obat-obatan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara lain. “Masih ada pejabat dan menteri yang tidak bisa memahami dan menjabarkan visi industri Presiden. Sudah beberapa kali Presiden mengeluhkan soal impor ini,” ujar Gobel, Rabu, 3 Juli 2024.
Keluhan Gobel muncul menyusul rapat terbatas yang diadakan Presiden pada Selasa, di mana Presiden meminta solusi segera terkait harga obat dan alkes yang mahal. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa harga obat di Indonesia bisa mencapai 3-5 kali lipat lebih mahal dibandingkan Malaysia. Ironisnya, meski harga tinggi, industri farmasi dalam negeri justru terpuruk.
Ia menyoroti kebijakan impor yang terus mengalir deras. Revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 36 Tahun 2023 dengan Permendag No 8 Tahun 2024 memudahkan impor berbagai produk, mematikan industri lokal dan menyebabkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. “Jangan cuma bisa berdagang, tapi bagaimana membuat barang dengan membangun industri dalam negeri dan menciptakan nilai tambah,” tegasnya.
Gobel menilai Indonesia seharusnya sudah bisa memiliki industri farmasi dan alkes yang besar. Dengan jumlah penduduk yang besar dan sistem jaminan kesehatan yang baik, Indonesia memiliki pasar yang besar dan daya beli yang kuat. Namun, harga yang tinggi menunjukkan adanya masalah dalam penyelenggaraan negara. “Tugas pejabat itu meringankan rakyat, bukan membebani rakyat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Gobel menekankan pentingnya industri farmasi dan alkes sebagai bagian dari industri strategis yang berunsur teknologi pertahanan. “Jika industri nasional tidak tumbuh padahal permintaan dan harganya tinggi, berarti ada sesuatu yang salah,” katanya.
Dengan adanya BPJS Kesehatan yang menjamin biaya kesehatan sebagian besar penduduk Indonesia, Gobel berpendapat pemerintah memiliki data yang cukup untuk menyusun kebijakan industri farmasi. Namun, meski DPR telah memberikan kerangka regulasi yang mendukung melalui UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan, kementerian terkait dinilai belum memanfaatkannya secara optimal.
Mahalnya harga alkes dan obat, menurut Gobel, menimbulkan berbagai kerugian. Biaya pengobatan menjadi lebih mahal, masyarakat miskin semakin terpuruk, negara boros dalam pembiayaan jaminan kesehatan, devisa terkuras, dan orang kaya lebih memilih berobat ke luar negeri, merugikan ekonomi nasional.
Gobel mencatat beberapa penyebab harga alkes dan obat mahal, termasuk korupsi, kemungkinan adanya kartel, pajak dan pungutan tinggi, serta koordinasi yang buruk antar-instansi. Ia menegaskan pentingnya visi dan komitmen penyelenggara negara untuk membangun industri dalam negeri demi kesejahteraan rakyat dan kekuatan ekonomi nasional. (rls/luk)