Gorontalo, mimoza.tv – Sidang perkara dugaan mega proyek GORR dengan tersangka Ibrahim dan Farid Siradju yang digeklar di Pengadilan Tipikor, Selasa (23/3/2021), menghadirkan tiga orang saksi.
Usai persidangan, Anto Widi Nugroho selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan, saksi pertama yang dihadirkan dalam persidangan adalah Wijaya, yang merupakan salah seorang kepala desa.
Sementara saksi ke dua yang dihadirkan dalam sidang itu adalah Muhammad Ruslan Laode, yang merupakan Ketua Satgas B.
“Dalam fakta persidangan, saksi pertama tidak pernah memberikan harga pasaran kepada terdakwa. Sementara untuk saksi yang ke dua, dia menjelaskan soal mekanisme asampai tugas dan fungsinya selaku Ketua Satgas B. Tujuannya adalah mengumpulkan data. Ternyata dalam persidangan, tidak semua alas hak terkait mengenai status tanah ini bisa diselesaikan secara tuntas,” ucap Anto.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan, ada memang alas hak yang tidak ada, dan yang dikumpulkan itu hanyalah sertifikat, data dukung seperti jual beli, dan tidak dipastikan status tanahnya.
“Memang sesuai dengan keterangan saksi-saksi kemarin, ada 50 sampai 60 persen tidak ada alas haknya. Sedangkan Satgas B ini tujuannya nanti mengumpulkan data untuk membuat daftar nominatif, dimana daftar yang tidak lengkap inilah yang menjadi dasar dari terdakwa untuk melakukan penilaian,” kata Anto.
Sementara saksi yang ke tiga dihadirkan dalam persidangan itu lanjut Anto adalah Asri Wahyuni Banteng (AWB). Saksi tersebut kata dia, merupakan tim pelaksana pembebasan lahan, dan kuasa pengguna anggaran (KPA).
“Saksi ini menjelaskan bahwa memang daftar nominatif ini dari awal belum lengkap. Yang akhirnya diserahkan kepada terdakwa untuk dinilai, setelah itu hasilnya dikirim lagi kepada Asri selaku KPA. Dalam sidang itu juga ternyata ada alas haknya yang belum lengkap. Fakta persidangan, ternyata ditemukan untuk pembayaran tahun 2014 ternyata tidak dilengkapi dengan syarat alas hak dalam SP2D,” imbuhnya.
Dirinya menegaskan, alas hak yang lengkp itu sangat penting untuk menentukan nilai yang akan diganti rugi.
“Ganti rugi berapa, salah satu syaratnya adalah alas hak. Itu bisa saja SPPF, sertifikat, bukti jual beli, dan sebagainya. Tahun 2015 juga ditemukan, ternyata kebijakannya berubah, Disitu sudah ada alas hak nanun ada pencairan dobol,” pungkas Anto.