Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember sepatutnya dijadikan refleksi bagi masyarakat terutama pemerintah dalam memperlakukan dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Saat ini pandangan umum terhadap penyandang disabilitas masih cenderung negatif dan pemenuhan hakhaknya yang masih terabaikan. ‘Penyandang disabilitas’ atau sering juga disebut ‘difabel’ merupakan istilah baru, yang dinilai lebih humanis sebagai pengganti istilah lama yakni ‘cacat’ atau ‘tuna’. Munculnya disabilitas (disability) ini sejatinya karena kegagalan lingkungan dan masyarakat saat merespons maupun memperlakukan orang-orang berkemampuan fisik atau mental yang berbeda dengan orang pada umumnya (UPIAS, 1976).
Suhu politik 2019 demikian sudah terasa. Tentu segenap pemangku kebijakan tak boleh abai terhadap hak-hak politik bagi penyandang disabilitas, terutama haknya untuk dipilih dalam pemilihan umum (pemilu). Hak untuk dipilih ini belum menjadi perhatian serius dan belum masif dibicarakan publik. Padahal kehadiran penyandang disabilitas dalam sistem politik sangat berguna untuk mengajarkan kepada bangsa, bahwa betapa ‘perspektif disabilitas’ yang bersisi ‘kemanusiaan’ amat sangat penting (Ishak Salim, 2015).
Urgensi
Terdapat 3 (tiga) alasan yang mendasari urgensi pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk dipilih dalam pemilu. Pertama, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menjamin persamaan akses bagi setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Ketentuan tersebut kemudian diterjemahkan dalam Pasal 13 huruf a UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahwa hak dipilih dalam jabatan publik merupakan salah satu hak politik bagi penyandang disabilitas.
Kedua, keterlibatan penyandang disabilitas dalam sistem politik diperlukan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berimbang bagi setiap warga negara dengan berbagai latar belakang dan kondisi. Kekuatan dalam bersaing untuk mendapatkan, menghalangi akses dan kepentingan kelompok lain sangat diperlukan guna menghasilkan berimbangnya kebijakan (Thomas A. Birkland, 2015). Ketiga, sebagai sosialisasi terhadap publik bahwa penyandang disabilitas tak boleh dipandang sebelah mata karena kondisi yang dialaminya.
Perlu diketahui bahwa perjuangan pemenuhan hak politik bagi penyandang disabilitas tak berada diruang hampa. Penulis bersama tim peneliti menemukan sejumlah hambatan yang sangat menghalangi kemungkinan dipilihnya penyandang disabilitas dalam Pemilu (Dean Research Grant, 2016). Pertama, tingkat pendidikan penyandang disabilitas yang masih rendah. Diakui bahwa saat ini belum banyak penyandang disabilitas dapat mengakses dan lulus pendidikan tinggi. Kondisi ini berdampak pada kurangnya kepercayaan diri penyandang disabilitas untuk berkontestasi dalam pemilu. Maka, kedepan perlu dukungan yuridis maupun politis agar akses penyandang disabilitas terhadap pendidikan ini semakin mudah dan optimal.
Kedua, perasaan malu pihak keluarga masih sering ditunjukkan dengan sikap tertutup dan mencegah anggota keluarga yang menyandang disabilitas untuk berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, keluarga juga sangat berperan penting untuk mendukung keterlibatan penyandang disabilitas dalam sistem politik.
Ketiga, belum optimalnya peran partai politik (parpol) dalam melakukan pendidikan dan rekrutmen kepemimpinan politik terhadap penyandang disabilitas. Sistem kaderisasi parpol untuk menghasilkan kader-kader penyandang disabilitas yang kompeten dan potensial menjadi pemangku kebijakan terbukti belum sepenuhnya berhasil.
Kedekatan
Keempat, penyandang disabilitas dengan finansial terbatas merasa keberatan apabila hendak maju menjadi calon legislatif. Sudah menjadi pandangan umum bahwa perpolitikan masa kini sangat mengedepankan kedekatan dengan pimpinan parpol, senioritas, elektabilitas, dan popularitas calon yang semuanya dikemas dalam bingkai finansial. Untuk memberi afirmasi terhadap penyandang disabilitas, maka sangat diperlukan upaya mengefisiensi besarnya biaya politik ini.
Pemilu 2019 harus mulai memberi ruang bagi penyandang disabilitas untuk terlibat dalam sistem politik. Mengingat bahwa upaya pemenuhan hak politik bagi penyandang disabilitas merupakan aktualisasi salah satu dasar bernegara, yaitu ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’. Tanggungjawab ini sejatinya berada pada segenap pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, tatanan masyarakat Indonesia yang inklusif nan sejahtera dapat segera diwujudkan.*