Gorontalo, mimoza.tv – Sejatinya, hutan mangrove atau bakau memiliki peran vital dalam menjaga alam. Tanaman ini merupakan benteng pertahanan terhadap risiko bencana, serta berfungsi sebagai habitat atau rumah bagi jutaan ikan.
Di kabupaten Pohuwato sendiri keberadaan mangrove hingga saat ini terus mengalami kerusakan akibat perambahan dengan skala besar. Seiring dengan dibukannya tambak-tambak budidaya, benteng pertahanan ini pun semakin rapuh dan rusak parah.
Dapat dibayangkan, jika kondisi kerusakan ini terus berlanjut, maka tak ada lagi penahan ombak, erosi garis pantai, intrusi atau perembesan air laut ke tanah yang menyebabkan tercampurnya air laut dengan air tanah, yang berakibat pada menurunya kualitas perairan. Bahkan tak hanya itu saja, dampak lainnya bagi nelayandi Pohuwato sendiri adalah menurunya produksi perikanan
Laporan Tim Pemetaan Program Teluk Tomoni, Sustainable Coastal Liverhood And Management (SUSCLAM), kawasan mangrove di kabupaten itu dalam kurun waktu tahun 1988 hingga tahun 2003 mengalami penyusutan sebanyak 1.560,14 hektar.
Sementara pada periode tahun 2003 hingga tahun 2010 turun sekitar tiga kali lipat atau sebanyak 4.262,47 hektar. Artinya sejak tahun 80-an, luas hutan bakau di Pohuwato ini mengalami penurunan lebih dari 60 persen.
Tahun 2012 SUSCLAM menyebut, luasan mangrove yang ada di provinsi Gorontalo pada tahun 1998 mencapai 13.243 hektar. Kerusakannya pun saat ini telah mencapai 67 persen dan tambak menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove tersebut.
Sementara itu, hasil survey RTRW Provinsi Gorontalo pada tahun 2019, di Kecamatan Wanggarasi, merupakan salah satu lokasi yang dikunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo pada Juni tahun 2020 lalu, terdapat 1.049,66 hektare luasan tambak yang terbentang di tempat itu, dan 803,28 hektar masuk pada kawasan Hutan Lindung. Lokasi kunjungan menteri yang kini tersandung dugaan korupsi ekspor lobster itu pun terindikasi masuk pada wilayah hutan lindung yang dialihfungsikan menjadi kawasan tambak.
Kunjungan Edhy Prabowo kala itu, salah satunya dalam rangka panen bandeng pada salah satu tambak milik kelompok budidaya Cahaya Bandeng, sebagai salah satu langkah dalam rangka mensejahterahkan masyarakat budidaya perikanan.
Sayangnya sekitar seratus meter dari tambak tersebut adalah pesisir laut dengan kondisi mangrove yang telah rusak akibat alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak.
Padahal, jika merujuk pada regulasi, kawasan hutan mangrove sendiri diatur dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, jelas menegaskan, menempatkan hutan bakau sebagai Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 angka 4), dimana ada ancaman pidana terhadap penebangan dan perusakan hutan mangrove di pesisir.
Adapun pelaku perusakan terhadap mangrove tersebut diancam dengan pidana Pasal 73 ayat (1) huruf b, dengan penjara paling singkat dua tahun dan paling lama adalah 10 tahun, dengan denda paling sedikit Rp 2 miliar, dan paling banyak 10 miliar.
Namun saja, tanpa melihat besarnya denda dan kurungan badan, jika kerusakan kawasan mangrove ini terus menerus terjadi, maka bukan tidak mungkin, ancaman bencana alam mengintai daerah pemekaran dari Kabupaten Boalemo ini.
Jika melihat kondisi saat ini, maka sangat dibutuhkan komitmen dan tekad bersama antara pemerintah, stake holder, pemerhati lingkungan serta masyarakat sekitar kawasan mangrove, untuk sama-sama mecegah berbagai bencana lantaran rusaknya benteng terakhir tersebut. Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali, karena hutan mangrove itu sendiri hakikatnya merupakan masa depan kita bersama.(luk)