Oleh: Hersubeno Arief
Anda yang berharap Mensos Juliari P Batubara dihukum mati, bersiap-siaplah kecewa.
Jangan lupa Anda masih hidup di Indonesia. Presidennya juga masih Jokowi. Partai yang berkuasa juga masih PDIP.
Come on. Wake Up!
Cobalah lebih menjejak bumi. Harapan yang terlalu melambung tinggi, bisa membuat kita kecewa. Sedih dan depresi.
Kalau sudah begitu, imunitas tubuh bakal menurun. Rentan terkena Covid-19. Tambah berat lah beban hidup Anda!
Silakan cermati kembali apa yang dikatakan oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Dia hanya menyatakan, KPK tengah mendalami penerapan pasal hukuman mati. KPK juga tengah mendalami apakah ada aliran dana ke PDIP.
Tolong dicatat! Hanya mendalami ya.
Jangan langsung berkesimpulan bahwa KPK akan menerapkan hukuman mati. Jangan pula berkesimpulan PDIP akan dibubarkan karena menerima aliran dana korupsi.
Itu namanya kesimpulan yang terlampau jauh. Jumping to conclusions. Nggege mongso, kata orang Jawa.
Hiduplah dalam kenyataan. KPK hanya menerapkan pasal 12 dan 11 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana sudah diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001.
Dalam pasal 12 disebutkan, seorang penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, ancaman hukumannya dipidana seumur hidup, paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun. Sementara dendanya paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Bagaimana dengan pasal 11?
Nah ini lebih asyik lagi.
Ancaman hukumannya paling singkat 1 tahun. Paling lama 5 tahun. Dendanya paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Hukuman mati diatur dalam pasal 2. Tapi ada syaratnya.
Dalam ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 Milyar.
Ayat 2, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam keadaan tertentu ini bersifat interpretatif. Pemerintah menafsirkan bahwa keadaan tertentu itu adalah bencana alam. Sementara Covid-19 bencana non alam.
Benar bahwa Firli tidak secara tegas menyebut Covid-19 bencana non alam. Tapi berbagai pernyataannya terkesan ambigu.
Ketika berbicara di Komisi 3 DPR RI Firli menyatakan, pelaku korupsi dana Covid-19 bisa dihukum mati. Begitu juga ketika berbicara dalam wawancara di sejumlah media.
Sekarang dia mencoba mencari jalan aman. Mengambangkannya dengan kata “tengah mendalami.”
Soal dalam atau tidak dalamnya, lain lagi urusannya. Yang penting tekanan publik bisa diredam.
Firli saat ini tengah menikmati “kesuksesan” KPK menangkap dua orang menteri.
Fakta itu setidaknya bisa meredam sikap skeptis publik terhadap KPK, di bawah kepemimpinannya.
Firli sekarang mengambil alih peran. Dia langsung tampil dalam setiap jumpa pers mengenai OTT Mensos. Sebelumnya ketika OTT Menteri Kelautan cukup diserahkan ke wakilnya.
Dia tengah menikmati sorotan kamera. Sambil berhitung-hitung jangan sampai menggigit tulang yang terlalu keras.
Bagi Firli —bukan bagi penyidik ya— beberapa OTT ini semacam lucky blow, pukulan keberuntungan dalam tinju.
Dia mencoba memanfaatkan second wind, semangat baru setelah sebelumnya limbung terkena hook keras berbagai kasus pribadinya.
Syukur kalau dia bisa membuat lompatan kodok karirnya karena “sukses” memimpin KPK.
(Mahfud dukung Firli)
Bagaimana dengan Menko Polhukam Mahfud MD?
Menurutnya, syarat yang dimaksud dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU Tipikor ialah negara dalam keadaan bahaya. Saat ini tak ada negara yang dinyatakan dalam keadaan bahaya.
Covid-19, kata Mahfud MD, tidak termasuk dalam bencana alam. Walaupun begitu dia tidak membantah dampak Covid-19 ini lebih besar daripada bencana alam nasional.
Mahfud menyatakan Indonesia juga tidak sedang mengalami krisis ekonomi, melainkan resesi.
“Yang dinyatakan resesi itu tidak sama dengan krisis ekonomi. Resesi itu adalah manakala pertumbuhan ekonomi kita minus dua kuartal berturu-turut, itu resesi namanya,” ujarnya.
Berdasarkan penjelasan itu, Mahfud menilai Ketua KPK Firli Bahuri saat ini sulit menemukan kaitan antara syarat-syarat dalam UU Tipikor dengan kasus yang menjerat Juliari Batubara.
Penjelasan Mahfud MD harus dilihat dalam posisinya sebagai Menko Polhukam. Bukan pakar hukum. Itu adalah sikap resmi dari pemerintahan Jokowi.
Pernyataan itu merupakan signal sekaligus dukungan karena Firli telah “berada di jalan yang benar.” Tidak menerapkan hukuman mati.
Signal itu juga harus ditangkap oleh lembaga penegak hukum lainnya, dalam hal ini hakim di pengadilan Tipikor.
Ada alternatif hukuman paling berat dan paling ringan. Bisa diambil jalan tengah.
Untuk meredam kemarahan publik jangan dihukum terlalu ringan. Tapi juga jangan terlalu berat. Yang sedang-sedang saja.
Toh nanti bisa banding ke pengadilan tinggi. Kasasi atau peninjauan kembali (KPK) di Mahkamah Agung.
Setelah itu, jangan lupa ada potong masa tahanan berupa remisi, asimilasi, dan kalau perlu……. grasi.
Sampai disini paham khan?
Ah jangan terlalu sering bermimpi lah. Apalagi mimpi yang indah!
Anda masih hidup di Indonesia Bro!
Bangun…..bangun!!!! end.