Oleh : Dahlan Iskan
Begitu pastinya soal ibu kota baru ini. Bukan hanya lokasinya. Juga kapan ibu kota baru itu mulai ditempati.
Serba sudah pasti.
Lokasi: pasti.
Di satu hamparan 180.000 ha. Di bekas hutan yang sebagian masuk Kabupaten Paser Penajam Utara (PPU) dan sebagian lagi masuk Kabupaten Kutai Kartanegara.
Bapak Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkannya. Senin lalu. Dalam event yang khusus dibuat untuk mengumumkan lokasi itu.
Sudah pasti, itu di bibir Teluk Balikpapan, Kaltim. Tidak ada lokasi lain yang dimaksud seperti itu. Kecuali ujung Teluk Balikpapan tersebut.
Menuju ke lokasi itu mudah. Dari bandara Balikpapan langsung masuk tol. Di kilometer 38 exit ke kiri. Kalau tol jurusan Samarinda itu sudah jadi nanti. Kalau jalan masuk ke ibu kota sudah dibuat kelak.
Ketua Bappenas memberi gambaran lebih rinci. Bukit Suharto masuk dalam 180.000 itu. Kecamatan Samboja masuk pula. Berarti tidak hanya di sekitar Teluk Balikpapan. Melainkan sampai Selat Makassar.
Berarti kampung-kampung besar di kecamatan Samboja termasuk di dalamnya. Berarti kebun-kebun lada rakyat di sekitar itu masuk ibu kota.
Waktu: pasti.
Tahun 2024 nanti istana jadi. Gedung 34 kementerian sudah selesai dibangun. Semua sudah bisa pindah ke sana. Artinya, gedung-gedungnya sudah jadi. Jalan-jalan rayanya sudah terhampar. Saluran-saluran air sudah selesai. Listrik-telepon-air bersih sudah beres.
Soal kepastian waktu itu diucapkan sendiri oleh Bapak Presiden Jokowi. Dalam wawancara khusus dengan Kompas. Yang wawancara pun Wakil Pemimpin Umum Kompas sendiri, Budiman Tanurejo. Terbit di harian Kompas edisi Rabu minggu lalu.
Yang belum pasti tinggal namanya. Bapak Presiden Jokowi belum memberi nama.
Lantas muncullah nama-nama guyon. Dari medsos. “Ibu kota baru itu bisa diberi nama Sambal Terong,” tulis sebuah meme.
Itu singkatan dari Samarinda, Balikpapan, Samboja, Panajam, dan Tenggarong. Yakni kota-kota di sekitar lokasi –mirip Jabodetabek.
Itulah ibu kota baru.
Begitu pasti. Begitu cepat. Orang yang ‘benci’ birokrasi seperti saya senang sekali mendengarnya. Begitu kilatnya.
Saya bayangkan ini sudah seperti PT Podomoro Group saja. Yang akan membangun super block Central Park. Atau mirip PT Sinar Mas. Yang akan membangun Bumi Serpong Damai. Atau Lippo Group. Yang akan membangun Meikarta. Atau Ciputra yang akan bangun Citraland. Atau Pakuwon yang akan membangun Kota Casablanca.
Bukan main fleksiblenya. Sudah sefleksible perusahaan. Seolah seperti bukan program sebuah negara. Apalagi negara demokrasi.
Bahkan lebih fleksibel dari sebuah perseroan terbatas. Di perusahaan, masih harus ada rapat umum pemegang saham. RUPS harus setuju dulu. Baru direksinya bergerak.
Ini sudah mirip sebuah perusahaan keluarga.
Proses pengadaan ibu kota baru ini sungguh suatu terobosan. Mungkin terbesar dalam sejarah birokrasi Indonesia. Jangan-jangan di dunia.
Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang presiden asal Solo: Pak Jokowi.
Cepatnya bukan main. Akan lebih cepat dari proyek apa pun. BSD pun memerlukan waktu lebih 15 tahun.
Ibu kota baru kita itu hanya perlu waktu lima tahun. Dari gagasan, sampai perencanaan, proses legal, administrasi, pendanaan sampai bisa ditempati.
Saya begitu kagumnya.
Kapan pula tendernya.
Proses tendernya saja paling tidak satu tahun. Itu pun kalau tidak ada gugatan.
Atau dikerjakan sendiri? Oleh BUMN? Sehingga tanpa tender?
Entahlah. Masih serba tidak pasti.
Ups, sudah pasti juga. Menteri Bappenas yang menjelaskannya. Seperti dimuat Merdeka.com kemarin.
Bahwa gedung-gedungnya itu nanti tidak harus dibangun pemerintah. Bisa dibangun badan usaha. Pemerintah tinggal sewa. Selama sekian tahun. Setelah itu –katakanlah 20 tahun atau berapa tahun pun– gedungnya menjadi milik pemerintah.
Wow! Skema yang sangat menarik. Tidak perlu banyak anggaran negara.
Sangat menarik –dilihat dari kacamata bisnis. Ini terobosan yang belum pernah terjadi.
Melihat konsep itu saya ingat Sukrosono. Di dunia pewayangan.
Sukrosono seperti telah lahir kembali ke dunia nyata.
Sukrosono adalah satria sakti. Hanya saja buruk tampangnya.
Saktinya luar biasa. Mampu memindah Taman Sriwedari dalam sekejap. Dari Sorga Nguntara Segara ke komplek istana raja Maespati. Hanya dalam satu malam.
Itu dilakukan Sukrosono untuk menolong kakaknya yang lagi kepepet. Sang kakak ganteng luar biasa: Sumantri.
Sumantri ingin diterima menjadi anggota kabinet kerajaan. Tapi terbentur persyaratan sulit: harus bisa memindahkan Sriwedari ke istana Maespati.
Sumantri sangat sedih: tidak akan mampu memenuhi syarat itu. Ia menangis. Sang adik iba. Sukrosono sangat menyayangi kakaknya.
Lewat kesaktiannya sang adik berhasil memindahkan Sriwedari Garden ke Maespati. Sang kakak pun bisa masuk istana raja Arjuna Sasrabahu.
Sayangnya akhir cerita ini tragis. Si adik – -yang buruk rupa– tidak mau pisah dari kakaknya. Ingin ikut masuk istana.
Sang kakak malu. Adiknya begitu buruk wajahnya. Dirayulah sang adik agar tidak usah ikut.
Sang adik tetap mau ikut. Lalu ditakut-takuti akan dibunuh dengan panahnya. Anak panah itu secara tidak sengaja lepas. Menembus dada si adik. Tewas.
Tapi itu di dunia wayang.
Di Hollywood semua cerita berakhir happy ending.
Ini bukan kisah wayang.
Ini bukan film Hollywood.
Ini Sriwedari Green Garden pindah ke hutan Kaltim.
Ini kisah tentang ibu kota baru Republik Indonesia.(Dahlan Iskan)