Gorontalo, mimoza.tv – Empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004).
UU ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga.
Menteri Pemberdayaan perempuan Dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengungkapkan, kasus KDRT bisa menimpa siapa saja. Masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa KDRT merupakan urusan pribadi rumah tangga yang bersangkutan, sehingga tidak perlu dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
“Karena alasan malu, tabu atau alas an lainnya, kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dab persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),” kata Yohana saat mencanangkan Gerakan Bersama (Geber) Stop Kekerasan Dalam rumah Tangga (KDRT), di Gelora Bung Karno, Minggu (4/11/2018).
Yohana mengungkapkan, berdasarkan Survey pengalaman Hidup perempuan nasional (SPHPN) tahun 2016 menunjukan bahwa satu dari tiga perempuan usia 15- 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
“Berdasarkan SPHPN juga, satu dari setiap empat perempuan yang perna atau sedang menikah pernah mengalami kekerasan berbasis ekonomi. Dan satu dari lima perempuan yang pernah atau sedang menikah juga mengalami kekerasan psikis,” terang Yohana.
Berdasarkan data-data tersebut, Yohana menyimpulkan, angka-angka tersebut sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan bahwa KDRT merupakan masalah yang serius dan mendesak untuk dicarikan solusinya, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dirinya juga mengajak kaum muda calon rumah tangga untuk dapat memutus mata rantai KDRT.(luk)