Gorontalo, mimoza.tv – Ada yang menarik diungkapkan DR Mudzakkir, SH, MH, saat mejadi saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan jalan Gorontalo Outer Ring Road (GORR), dengan terdakwa Farid Siradju dan Ibrahim, di Pengadilan Tipikor Gorontalo.
Dihadapan majelis sidang Mudzakkir mengungkapkan, seharusnya pihak jaksa Penuntut Umum (JPU) bila merasa ada kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh Appraisal, maka mekanisme yang dilakukan adalah melakukan pengaduan kepada Dewan Penilai Asosiasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), sebelum memvonis terdakwa kepada kedua Appraisal tersebut.
“Seorang penilai itu tidak bisa langsung dikatakan melakukan perbuatan melanggar hukum, sedangkan pekerjaannya itu harus tunduk sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Standar Penilaian Indonesia atau (SPI). Seharusnya jika ada kekeliruan yang terjadi, maka dilaporkan ke MAPPI dulu, sebagai lembaga diatanya para penilai,” kata Mudzakkir.
Lebih lanjut dikatakannya, jiika kekeliruan itu sudah dilaporkan, Dewan Penilaian MAPPI akan melakukan pemeriksaan termasuk melakukan penilaian pembanding untuk menilai apakah terjadi kesalahan penilaian atau tidak. Dalam hal ini kata dia, penyidik Kejati Gorontalo tidak pernah melakukan hal tersebut.
“Jadi ketika dewan mengatakan itu kesalahan administrasi, ya itu kesalahan administrasi. Tapi ketika hal itu dikatakan kesalahan administrasi yang bisa menggerakkan hukum pidana dalam ranah pidana korupsi, maka itu baru masuk ranah pidananya,” tutur Mudzakkir.
Dirinya mengatakan, jika dianalogikan, saat penilai melakukan kekeliruan, maka proses penanganannya hampir sama dengan penanganan ketika seorang wartawan melakukan kesalahan atau melanggar kode etik jurlalistik.
“Kalau wartawan harus lewat Dewan Pers. Demikian juga dengan penilai, harus ke ranah Dewan Penilai. Hampir sama. Bedanya, wartawan ada UU Pers. Jadi semua pihak termasuk APH itu terikat dengan UU. Kalau tidak, mereka jadinya melanggar UU. Kecuali pidananya sudah jelas, misalnya melakukan pembunuhan, penganiayaan orang dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Sementara itu, tim Penasehat Hukum (PH) Ibrahim dan Farid Siradjudalam keterangannya kepada wartawan ini mempertanyakan, dari mana dkatakan harga hasil penilaian yang dilakukan oleh klien mereka itu dikatakan kemahalan, jika pembandingnya saja tidak ada. Dari mana juga bisa dikatakan merekayasa informasi data, dan merekayasa kertas kerja, ketika hal tersebut belum di koreksi apakah sudah dijalankan dengan benar
“Prosedur itu dijalankan dengan benar atau tidak, yang berwenang memeriksanya adalah P2PK, dalam hali ini Kementerian Keuangan. Kalau misalnya dikatakan hasilnya ketinggian, maka itulah hasil yang diperiksa oleh Dewan Penilai. P2PK itu dalam memeriksa harus memanggil pihak penilainya, pihak dari MAPPI, diperiksa secara bersamaan,” ujar Ahmad Benyamin Danial.
Dirinya menegaskan, saat kasus ini masih dalam tahap penyidikan, pihaknya sudah menginformasikan kepada APH, supaya dilakukan pemeriksaan di P2PK. Namun saja hal itu tidak diikuti.
“Tahun 2019, saat kedua klien kami masih status tersangka, sudah disarankan untuk di periksa oleh Dewan Penilai, namun saran itu tidak dilaksanakan. Karena basic mereka kan menghitung kerugian negara dari standar akuntansi. Sedangkan SPI 306 itu tidak bisa dilakukan penilaian berdasarkan standar akuntansi. Ada ketentuannya dalam SPI 306. Kemudian yang menentukan kerugian negara itu bukan BPKP, melainkan BPK RI. Dan itu sifatnya bukan kerugian negara, tapi ada potensi kerugian,” pungkasnya.(red)