Oleh: Funco Tanipu
Kita sudah hapal dengan detail siapa saja yang miskin di Gorontalo. Kita bisa tahu “by name” dan “by adress”. Kita tahu kondisi rumah mereka dan segala yang terkait dengan mereka. Data itu bisa kita lihat secara detail di Basis Data Terpadu. Secara lebih detail, di dalam itu ada Desil I, II dan III yang berada dalam kelompok rentan.
Pada desil 1, kondisi rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan sampai dengan 10% terendah di Indonesia. Di Desil 2, rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan antara 11% – 20% terendah di Indonesia. Di desil 3, rumah tangga/individu dengan kondisi kesejahteraan antara 21% – 30% terendah di Indonesia.
Dalam UU 13 Tahun 2011, pasal 11 ayat 1 menyatakan bahwa “data fakir miskin yang sudah diverifikasi ditetapkan oleh menteri”. Data yang diverifikasi oleh Kementrian Sosial bersumber dari data BPS, dan selanjutnya data hasil verifikasi tersebut menjadi tanggung jawab Kementrian Sosial. Secara akumulatif, bisa juga kita merujuk pada data di BPS.
Tetapi, siapa saja orang kaya di Indonesia, kita hanya bisa menebak dari rumahnya, pekerjaannya. Itupun hanya prediktif. Tapi kita tidak tahu pasti persentase, jumlah, dan siapa saja mereka. Untuk yang menduduki jabatan dalam pemerintahan, bisa kita cek jumlah kekayaannya dari LHKPN di data KPK.
Data mengenai orang kaya diluar data itu, hampir sulit kita telusuri. Memang ada Forbes yang merilis data mengenai 500 orang terkaya Indonesia. Namun, lebih dari itu, belum ada data yang tersedia secara terbuka.
Diluar data Forbes tersebut, kita juga tidak tahu dan tidak memiliki data pasti tentang berapa total kekayaan mereka satu persatu dan berapa persen total kekayaan seluruh orang kaya itu.
Untuk menangani kemiskinan, sepertinya kita juga perlu mengetahui data detail soal orang kaya. Sepertinya, Pemerintah tidak bisa dibiarkan begitu saja dengan dana negara mengatasi itu. Orang kaya perlu kita “paksa” untuk mengatasi itu, tentunya dengan cara yang legal, konstitusional dan terstruktur.
Saat ini, di desa-desa utamanya, banyak orang miskin yang memaksa “tetap berada” dalam desil 1 dan 2. Karena dengan “tetap berada” di desil tersebut, maka aliran bantuan dari negara akan terus mengalir. Bisa diringkas bahwa orang akan berlomba-lomba untuk menjadi tetap dan terus miskin agar hidupnya bisa dijamin negara.
Dalam beberapa studi lapangan yang pernah saya lakukan, orang “rela” disebut miskin jika misalnya akan ada informasi mengenai pemasangan listrik gratis, berikut dengan program gratis-gratis lainnya. Karena hanya dengan tetap miskin, mereka bisa mendapatkan fasilitas itu.
Di sisi lain, anggaran untuk menurunkan angka kemiskinan hampir tidak maksimal pengelolaannya dan masih parsial.
Saat ini, ada model SDGs yang bertujuan untuk mencapai angka zero poverty pada tahun 2030. Namun, cara itu hanya menenkankan pada intervensi anggaran pemerintah kepada 4 pilar dan 17 tujuan yang ada dalam SDGs.
Perlu ada upaya yang revolusioner dalam menutupi celah kemiskinan di tingkat paling bawah : desa.
Menghitung secara detail jumlah orang kaya dan kekayaannya adalah penting untuk bisa menambah jumlah dan pola intervensi pada pencapaian tujuan SDGs.
Orang-orang kaya itu berada di Desil 8-10 BDT. Namun, posisi mereka hanya diukur dari tingkat pengeluaran, bukan pada tingkat pemasukan dan aset. Makanya, perluasan instrumen dalam BDT sangat urgen.
Pertanyaannya, apakah orang kaya diminta untuk berpartisipasi pada pencapaian tujuan SDGs khususnya untuk pengurangan angka kemiskinan? Jawabannya bisa.
Sebagai contoh di Gorontalo memiliki banyak kearifan lokal seperti bilohe, tayade, dudula, dulohupa. Dengan bilohe, orang-orang kaya disentuh moralitasnya untuk bisa lebih peka terhadap keadaan sekitar. Prinsip tayade menjadi instrumen untuk mengaktifkan pembagian dan distribusi sumber daya pada lingkungan, dudula menjadi agenda untuk saling merekatkan hubungan orang kaya-miskin, dan dengan dulohupa bisa menjadi jembatan komitmen di tingkat bawah dalam rangka penentuan kerangka intervensi dan komitmen orang kaya dalam hal pencapaian zero poverty.
Memang, mainstreaming SDGs baru dilakukan di level Provinsi dan Kabupaten, namun perlu terobosan untuk hingga ke level desa.
Kearifan lokal diatas perlu dibalut dengan regulasi lokal seperti Perdes untuk kemudian diterjemahkan dalam dokumen perencanaan seperti RPJMDes dan RPKPDes hingga APBDes.
Kearifan lokal tadi juga bisa menekan upaya orang miskin untuk terus bertahan di Desil I dan II BDT. Jika selama ini, orang miskin berebut untuk masuk di desil I dan II, itu lebih karena intervensi anggaran dari negara. Namun, jika intervensi anggaran (subsidi) dari warga sekitar yang lebih tinggi pendapatan dan berada di desil 8-10, maka ada semacam keengganan orang miskin untuk disubsidi silang oleh tetangganya yang lebih kaya. Di Gorontalo, jika pola ini diberlakukan dalam regulasi, akan ada rasa “debo molito” (malu) pada warga miskin, dan akan berupaya secara kolektif untuk meningkatkan kapasitas diri dan upaya untuk keluar dari desil I dan II.