Oleh: Funco Tanipu
Pada tanggal 4 Mei 2020, dasar hukum pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) telah diteken. Melalui Surat Keputusan Gubernur No. 152/33/V/2020 dan Peraturan Gubernur No. 15 Tahun 2020, penerapan PSBB mulai berlaku pada tanggal 5 Mei 2020 dan akan efektif pada tanggal 7 Mei 2020. PSBB ini akan diterapkan hingga tanggal 19 Mei 2020.
LOGIKA NORMAL VS. LOGIKA “NEW NORMAL”
Saat sebelum PSBB banyak yg saling tuduh soal “orang tidak pam ba dengar”. Saat PSBB diterapkan banyak yang tidak setuju pengaturan radikal. Salah satu yang radikal dan beroleh tanggapan keras dari masyarakat terkait pelarangan suami istri berboncengan dalam satu motor.
Pertanyaan sederhana, apa yang urgen suami istri bersamaan berboncengan di motor di kondisi “new normal” ini? Tidak usah berboncengan, sendiri saja sudah masuk dalam kategori tidak normal di situasi “new normal”. Logika yang dibangun tidak bisa berdasarkan perasaan di situasi normal, tapi mesti dalam situasi “new normal.
Apa itu situasi “new normal”? Situasi “new normal” bisa kita artikan kondisi atau situasi baru (yang tidak biasa) namun harus kita pandang dan alami secara normal, atau seperti biasa. Apa yang tidak biasa itu? Seperti dalam kehidupan biasa, pergerakan uang, barang, data dan manusia selalu terjadi. Pada kondisi “new normal” yang dibatasi dan kemungkinan dilarang adalah pergerakan atau mobilitas manusia.
INTERVENSI NON-FARMASI
Mobilitas manusia adalah inti dari PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). PSBB adalah bagian dari “non-pharmaceutical interventions” (NPI). NPI adalah upaya menangani pandemi dari sisi intervensi non farmasi (tanpa obat dan vaksin).
Intervensi non farmasi ini dianggap sebagai langkah alternatif dibandingkan skenario herd immunity yang sangat beresiko. Beresiko karena ketidaksiapan dalam skenario itu. Dalam skenario Herd Immunity, minimal ada 60-70 % dari populasi yang terjangkit virus baru dianggap populasi tersebut telah kebal terhadap virus. Tetapi, untuk konteks Indonesia yang fatality rate (FR/mati) nya sekitar 8 %, khususnya Gorontalo sebesar 6.7 %, maka skenario herd immunity (kekebalan kelompok) sangat beresiko. Artinya jumlah FR di Indonesia sekitar 20 juta jiwa dan di Gorontalo sekitar diatas 60 ribu orang.
NPI dihitung sebagai upaya efektif untuk menghambat pandemi, bukan memutus rantai pandemi. Sebab, jika satu daerah sudah ada cluster baru dalam artian telah terjadi local transmission, maka NPI atau PSBB adalah bagian untuk menghambat. Kenapa tidak memutus, karena kita tidak tahu siapa saja yang sudah terinfeksi. Maka pilihannya adalah menghambat, membatasi mobilitas manusia adalah salah satu upaya efektif.
Upaya sebelum ini yang dianggap efektif adalah anjuran social distansing, lalu dikoreksi menjadi physical distancing. Tapi anjuran ini tidak berhasil karena Covid-19 telah menjadi super sphread dan telah membentuk cluster-cluster hingga per kecamatan bahkan desa dan kelurahan. Hingga diterapkanlah PSBB sebagai langkah lanjutan.
Ketidakbiasaan masyarakat menghadapi situasi ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya karena logika dasar masyarakat sebagai manusia sebagai yang harus berinteraksi. Logika ini betul jika diterapkan pada situasi non pandemi.
Tetapi jika dalam konteks pandemi logika ini bisa mencelakakan banyak orang. Sedangkan masjid saja diimbau untuk tidak melaksanakan kegiatan keagamaan, apalagi hanya berboncengan di sepeda motor.
Pembatasan-pembatasan ini yang secara psiko-sosial dianggap melampaui kewenangan negara. Tapi memang negara mau tidak mau harus mengedepankan keselamatan rakyat.
Dalam skenario NPI, ada dua tahap yakni mitigasi dan supresi. Jika dihitung dari skala pembatasan, mitigasi ini berjalan sekitar 3 bulan. PSBB tergolong dalam cara ini. Sedangkan supresi adalah cara yang lebih radikal jika mitigasi dianggap gagal atau tidak mampu memperlambat penyebaran. Supresi harus dilakukan dengan cara yang lebih radikal, yakni dengan mengubah pola penyeraban virus hingga menekan sampai level yang paling kecil.
Skenario NPI ini bisa efektif juga untuk mengurangi beban tenaga medis di daerah yang memiliki keterbatasan tenaga, termasuk fasilitas kesehatan. Dalam konteks Gorontalo, PSBB akan efektif untuk membantu tenaga medis agar mereka tidak mendapat beban lebih jika yang ditangani akan banyak.
Jika pelambatan bisa ditekan, maka akan memudahkan untuk tracing (pelacakan) dan identifikasi cluster. Tes massal pun bisa dilakukan secara efektif dengan jumlah yang terbatas jika PSBB maksimal dilaksanakan.
HERD IMMUNITY ATAU SUPRESI : PILIHAN BERAT DAN BERESIKO
Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa PSBB akan gagal atau tidak bisa memperlambat penyebaran virus. Hal ini bisa terjadi jika kesadaran masyarakat masih dalam logika normal. Misalnya mobilitas manusia tidak berkurang, penggunaan masker tidak massif, anjuran cuci tangan hingga larangan berkerumun tidak ditaati.
Memang menggeser logika normal ke logika “new normal” akan sulit karena tidak ada pendahuluan yang baik. Kekeliruan penggunaan “kata pengantar” menyebabkan orang keliru dalam memahami. Apalagi jika skenario mengamankan “dapur” masyarakat tidak maksimal.
Kegagalan penerapan PSBB akan mengantarkan kita semua pada tahapan skenario NPI berikut yakni supresi. Akan ada skenario lebih “menyeramkan” yang tidak biasa dalam logika normal kita. Dalam tahap itu, pemidanaan terhadap pelanggar akan lebih intens dibanding sanksi administratif pada PSBB. Bahkan pemaksaan fisik terhadap masyarakat yang diduga melanggar akan memungkinkan.
Oleh karena itu, jangan sampai skenario PSBB gagal. Akan banyak resiko dan harga yang harus kita bayar. Perlu diingat bahwa kapasitas fasilitas kesehatan kita terbatas. Jumlah tempat tidur yang bersifat “ready” untuk pengidap Covid-19 di Gorontalo hanya sekitar 40 an, jika dimaksimalkan semua fasilitas termasuk mess haji hanya bisa menampung 350 orang. Apalagi jumlah dokter ahli yang tidak sampai hitungan lima jari.
Selain keterbatasan faskes, anggaran daerah pun terbatas. Akibat pandemi ini, refocussing anggaran telah memangkas hanyak kegiatan penting daerah dan proyek-proyek strategis disertai dengan pendapatan daerah yang menurun drastis akibat pembatasan mobilitas manusia dan usaha-usaha penyumbang pendapatan.
Jadi, resiko berikut yang akan dihadapi adalah upaya lebih radikal dalam mengatur mobilitas manusia tanpa lagi mengindahkan kesadaran masyarakat, mau sadar atau tidak, aturan ditegakkan. Dalam konteks ini, instrumen birokrasi pemerintahan, khususnya di tingkat Provinsi dan Kab/Kota akan digantikan secara fungsional oleh militer. Sebab, hanya militer yang memiliki instrumen yang lebih terstruktur dalam hal pembatasan mobilitas dibandingkan birokrasi sipil.
Tentu bagi sebagian besar masyarakat yang berlogika normal di kondisi “new normal” akan merasa kebebasannya terenggut. Tapi di satu sisi, kebebasanlah yang menjadi pokok dari mobilitas manusia hingga penyebaran virus semakin tidak terkendali (super sphread).
Sebagai penutup, mau tidak mau, suka tidak suka, penerapan PSBB ini harus didukung dalam artian bahwa situasi “new normal” ini membutuhkan kesadaran yang melampaui keadaan.
Kondisi memang lagi begini, upaya yang lain hanya berkisar pada dua hal : herd immunity atau supresi. Dua pilihan ini adalah alternatif jika PSBB gagal, dan kedua pilihan tersebut akan sangat dilematis karena dua-duanya berat. Yang satu “kebebasan” diperbolehkan (herd immunity), yang satunya “kebebasan” dipasung (supresi).
Jika herd immunity diterapkan resikonya tinggi angka kematian, jika supresi diterapkan akan banyak yang dipidanakan bahkan pemaksaan fisik bisa tinggi. Pilihan ada pada kita masing-masing jika sekiranya PSBB hanya setengah hati diterapkan, namun resiko sesuai dengan pilihan yang akan dipilih.