Gorontalo, mimoza.tv – Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan di Indonesia ada 42 ribu regulasi yang menghambat Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain dalam berbagai bidang, utamanya perekonomian.
Secara terang-terangan Pramono menyebut Indonesia mengalami “obesitas regulasi” mengingat begitu banyaknya aturan mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan bupati, walikota dan gubernur. Dampaknya sangat serius, yaitu menurunnya tingkat daya saing Indonesia di mata internasional. Padahal banyak lembaga dunia sepertiWorld BankdanMckinseymeramalkan Indonesia dapat menjadi lima kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045.
“Regulasi yang banyak itu kadang bukan malah menciptakan keteraturan dan ketaatan hukum, tetapi menimbulkan permasalahan sebab regulasi yang dibuat seringkali tumpang tindih dan bertentangan satu dengan yang lainnya atau yang kita sebut dengan over regulated. Sehingga tidak jarang membatasi keluwesan pemerintah dan mengakibatkan pembangunan nasional menjadi terhambat,” kata Pramono.
Dalam Seminar Nasional Reformasi Hukum: Menuju Peraturan Perundang-undangan yang Efekti dan Efisien, di Jakarta, Rabu (28/11), Pramono Anung mengakui adanya penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang sangat kompleks dan berbelit-belit karena melewati banyak pintu, sehingga tidak heran memperlambat proses sinkronisasi peraturan tersebut.
Hal ini juga mengakibatkan posisi Indonesia dalam indeks kualitas peraturan atauregulatory quality indexyang dikeluarkan oleh Bank Dunia pada tahun 2016 berada pada ranking 93 dari 193 negara. Peringkat ini lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya.
Oleh karena itu pemerintah berencana membentuk suatu lembaga yang akan mengidentifikasi segala bentuk peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, sehingga dapat dikoordinasikan secara terpusat untuk kemudian dikonsultasikan dengan pihak parlemen. Badan ini akan berada langsung di bawah presiden.
“Penguatan itu dilakukan dengan membentuk sebuah organ atau institusi tunggal atausingle center body, untuk peraturan perundang-undangan. Gambaran umum dari organ tersebut antara lain, organ tersebut menjadileaderKementerian/Lembaga (K/L) dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan di K/L akan dihapus, tetapi K/L tetap menjadi pemrakarsa penyusunan suatu Rancangan Perundangan-undangan dan berkedudukan langsung di bawah Presiden,” lanjut Pramono.
Ditambahkannya, Indonesia juga akan belajar dari negara-negara seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang dan Australia yang telah berhasil mengimplementasikan hal ini dalam pemerintahannya sehingga berdampak kepada kemajuan daripada negara-negara ini.
Pakar Hukum Tata Negara, Hamdan Zoelva, mendukung pembentukan lembaga khusus tersebut. Menurutnya UUD Indonesia, yang mengandung sistem presidensial, memberi kewenangan kepada presiden untuk menyederhanakan ribuan regulasi yang ada di Indonesia saat ini.
“Sistem UUD kita ini mengandung sistem Presidensial. Dengan kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang sangat besar dan luar sekali, pertama dia memliki 50 persen kewenangan dalam membentuk UU, kemudian dia memiliki kewenangan membentuk berbagai peraturan pemerintah, kewenangan membentuk peraturan Presiden, sampai pada mengontrol peraturan yang dibuat oleh pemda, jadi luas sekali kewenangannya,” jelas Hamdan.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Sarmuji pun mengakui banyaknya regulasi di dalam pemerintahan. Seringkali pihak DPR kesulitan bekerjasama dengan pemerintah dalam proses pengusulan dan pembahasan RUU, karena berbagai faktor seperti ego sektoral dari masing-masing K/L.
Ia juga mendukung pembentukan badan khusus untuk menangani berbagai macam aturan itu sehingga akan mempermudah tugas dari DPR dalam proses pembuatan UU. Selain itu tentunya RUU yang diajukan akan selaras dengan visi dan misi presiden dalam menjalankan pemerintahan.
“Sepakat seandainya ada pusat kebijakan legislasi pemerintah di bawah Presiden. Itu akan mempermudah tugas kami di badan legislasi khususnya dan tugas ke DPR-an secara umum. Dan itu akan memudahkan Presiden untuk betul-betul menyusun UU yang dibutuhkan, jadi tidak ada lagi menteri melobi kami tanpa arahan Presiden,” jawab Sarmuji.(gi/em/luk)