Perda No. 16 tahun 2015 tentang Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol di Provinsi Gorontalo akan dipertajam. Gubernur Gorontalo menegaskan revisi Perda tersebut agar membuatnya lebih menggigit dan tajam. Ini menjadi tantangan tersendiri ditengah paradoks kebijakan tentang produksi dan peredaran miras. Tantangan lain datang dari budaya hedon yang makin kental dalam pergaulan anak muda. Syukurlah, DPRD Provinsi Gorontalo mendukung penuh revisi Perda ini.
Di Gorontalo, pengaruh miras bagi warga terutama kaum muda semakin mengkhawatirkan. Data Riskesdas Kementerian Kesehatan, 2018 menempatkan Gorontalo pada urutan 4 setelah Sulut, NTT dan Bali. Kajian Libang Bapppeda Provinsi Gorontalo, 19.4% anak SD pertama kali mengkonsumsi miras dan 38.9% saat duduk di SMP. Jenis minuman pertama kali dikonsumsi anak-anak tersebut 40.7% adalah cap tikus. Yang lebih memiriskan 51.5% responden menyatakan sangat kurang memperoleh informasi tentang bahaya miras. Selebihnya, 48.1% mengatakan tidak mengetahui kalau miras dilarang agama.
Temuan ini bisa menjadi bom waktu. Tidak hanya terkait peningkatan kriminalitas, namun dalam jangka panjang akan berdampak pada tingkat produktivitas tenaga kerja di daerah ini.
Struktur penduduk Gorontalo saat ini didominasi usia muda yakni kelompok usia 15 hingga 35 tahun. Menurut BPS, Gorontalo menikmati puncak bonus demografi lebih awal dibandingkan nasional yakni tahun 2025. Saat ini, penduduk usia produktif dominan bekerja di sector non-formal (59,70%) mulai dari yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas hingga pekerja tak dibayar. Disinilah titik krusialnya. Jika anak-anak muda di atas terpapar konsumsi miras maka dikhawatirkan mereka tidak bisa keluar dari klasifikasi pekerja informal yang notabene memiliki tingkat produktivitas rendah. Survey NSLIC menunjukan produktivitas tenaga kerja yang rendah menjadi penyumbang utama permasalahan dunia usaha di Provinsi Gorontalo. Disinilah kenapa kita semua harus setuju agar Perda ini dibuat menggigit dan tajam. Sekarang, bagaimana membuatnya tajam?
Upaya penajaman menjadi tantangan tersendiri. Fakta bahwa kebijakan tentang produksi dan peredaran miras paradoksial. Di satu sisi, negara menyadari dampak buruk bagi masyarakat, disisi lain keberadaan miras diperlukan sebagai salah satu sumber pemasukan pendapatan negara. Tantangan lain datang dari bias heuristic yang mendorong manusia membuat keputusan berdasarkan kemudahan suatu informasi tertentu muncul dalam pikiran. Mudahnya menemukan miras ikut memudahkan anak-anak memutuskan untuk mengkonsumsinya.
Fikiran dan perilaku manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Pengaruh orang tua terhadap anak, atasan terhadap bawahan, hingga pengaruh politisi terhadap konstituennya. Ada dorongan menenggak miras karena pengaruh lingkungan sekitar. Misalnya orang tua atau bagian keluarga terbiasa dengan miras. Pertemanan juga dapat memberikan pengaruh. Kesetiakawanan membuat anak bisa tergoda meskipun awalnya ia menolak. Kalau menolak akan dianggap tidak solid, tidak setiakawan dan tidak dianggap jantan. Pengaruh media juga tak kalah buruk. Studi dari Journal of Pediatrics menemukan ketika remaja sering menonton adegan penggunaan miras dalam film, mereka akan ingin mencoba hal yang sama. Yang tak kalah penting adalah pengaruh masalah yang dihadapi sang anak baik yang dialami di rumah maupun di sekolah. Anak-anak membutuhkan perhatian dan pengertian. Kurangnya dua hal itu akan mendorong sang anak mencari kompensasi diluar antara lain melalui minuman keras.
Sekolah dan keluarga adalah ekosistim penting dalam pengasuhan anak-anak. Pola pengasuhanan sebaiknya menghadirkan lingkungan yang tidak bias bagi perkembangan kognitif sang anak. Daripada bersikap keras, orang tua dapat menghadirkan pendekatan dengan cara memberi pancingan pilihan daripada berbagai peraturan atau anjuran. Dalam Teori Pancingan (Nudge Theory), Peraih Nobel Ekonomi, Richard Thaler mengatakan pancingan harusnya mudah dan bersifat mendorong, bukan mengharuskan. Ini akan efektif melibatkan fikiran dan perilakunya seperti yang kita inginkan. Ilustrasi sederhana, misalnya, saat kita ingin mempengaruhi anak agar senang membaca buku. Maka cara efektif adalah pendekatan pancingan dengan meletakkan buku-buku di dekatnya. Ini lebih efektif ketimbang menyuruh anak tersebut membaca buku.
Harapan Gubernur agar semua pihak terkait bisa bersinergi untuk sama-sama mengatasi masalah miras ini adalah kemutlakan. Proses revisi yang komprehensif harus dibangun melalui diskusi dan konsultasi intens dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat, aparat penegak hukum, psikolog, pendidik, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Kebijakan untuk menghapus penerima bantuan sosial bagi rumah tangga yang mengkonsumsi miras perlu dipertimbangkan. Peran Kabupaten/Kota setidaknya dalam bentuk mendorong kegiatan-kegiatan produktif dan mengurangi selebrasi-selebrasi di tingkat masyarakat yang hanya menumbuhkan hedonism di kalangan warga masyarakat utamanya kawula muda.
Semua upaya yang dilakukan setidaknya membantu kita keluar dari jebakan jangkar (anchoring trap) miras sebagai sebuah kebiasaan yang sulit diberantas.
Penulis: Aryanto Husain, Anggota DRD /Kabid Ekonomi Bapppeda Prov. Gorontalo