Gorontalo, mimoza.tv – Beti Lasimpala bersama keluarga ahli waris lahan di Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara menggugat PT Gorontalo Listrik Perdana (GLP) lantaran belum membayar lahan seluas sekitar 67 hektar.
Kepada awak media, Beta, mewakili ahli waris menjelaskan, selama ini PT GLP baru melakukan pembayaran terhadap ahli waris atas lahan seluas 8,5 hektar. Sementara yang sisanya sekitar 67 hektar dan sementara bergulir di Pengadilan Negeri Limboto belum diselesaikan pembayarannya.
“Awal kami meelakukan upaya gugatan di pengadilan, mereka (baca: PT GLP) meminta untuk mediasi. Padahal sebelum upaya gugatan ini kami layangkan, sudah berulang-ulang kali mediasi,” ucap Beta usai sidang yang di gelar di Pengadilan Negeri Limboto, Kamis (9/9/2021).
PT GLP yang juga merupakan anak perusahaan dari PT Toba Bara milik Luhut Binsar Panjaitan itu lanjut Beta, mulai berurusan dengan keluarga ahli waris sejak pembebasan lahan tahun 2016. Setelah tahun 2016 itu lanjut dia, lokasi lahan yang berada di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Tomilito, kabupaten Gorontalo Utara itu sempat ia tutup.
“Setelah saya tutup itu mereka mengadakan musyawarah yang baik dengan saya. Pada tahapan pengukuran awal dengan pihak kami, yang baru terselesaikan itu 8,5 hektar. Setelah itu saya tutup lagi selama 10 bulan. Dua kali saya melakukan penutupan. Yang pertama 10 bulan, dan penutupan yang ke dua 10 bulan,” imbuhnya.
Setelah pihak keluarganya menghentikan semua aktivitas, tiba-tiba kata Beta pihak perusahaan secepatnya mengeksekusi lahan tanpa sepengetahuan keluarga.
“Mereka seenaknya mendirikan bangunan ini dan itu. Padahal lahan ini kan dalam pengawasan kami keluarga. Padahal yang saya ijinkan ini hanya 8,5 hektar. Taunya sudah semua areal. Kita semua ahli waris dari 8 bersaudara itu satu hamparan semua. Termasuk lahan yang di induknya perusahaan itu juga masuk kita punya semua. Jadi lahan yang sekarang mereka duduki itu bermasalah semuanya,” tegas Beta.
Pada kesempatan yang sama, Suwitno Lasimpala, yang juga keluarga ahli waris lahan tersebut mengatakan, gugatan yang dilakukan keluarganya tersebut sebagai pintu terakhir untuk mencari keadilan.
“Memang perusahaan ini sudah sekian lama bermasalah dengan kami ahli waris. Bahkan malah sempat dimediasi oleh Pemda, waktu itu. Tapi rupanya mereka tidak koperatif. Pernah bergulir di DPR. Bahkan bupati saja sempat mendesak untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Kalu mereka masih lama dalam menyelesaikan pembayaran, maka kita akan blokir dulu,” kata Suwitno.
Pada kesempatan itu juga Ropan Vanderwis Hulingo, selaku kuasa hukum keluarga ahli waris menerangkan, sampai dengan saat ini proses hukum dari kliennya tersebut sudah pada tahap mendengarkan jawaban dari pihak tergugat dalam hal ini PT Toba Bara dan PT Gorontalo Listrik Perdana.
“Kami dari tim kuasa hukum akan mempelajari dulu jawaban dari tergugat. Kemudian kami akan membalas terkait dari jawaban pihak perusahaan tersebut. Mungkin balasan dari kami minggu depan,” singkat Ropan.
Menanggapi hal itu, Humas PT Gorontalo Listrik Perdana, Ramlan Modjo, saat dihubungi wartawan di nomor teleponnya 0852 5486 XXXX mengatakan, dirinya mempersilahkan wartawan untuk menanyakan proses hukum antara perusahaan dengan ahli waris itu di pengadilan.
“Bapak akses saja di pengadilan pak. Sidangnya terbuka. Kami gak komen kalo untuk yang itu. Jadi untuk masalah gugatan itu silahkan diakses di pengadilan. Yang jelas di kami itu, itu adalah hak kami. Sudah punya legalitas berupa sertifikat. Jadi kami rasa tidak ada masalah,” jawab Ramlan.
Untuk klaim dari pihak ahli waris yang mengatakan belum membayar lahan seluas sekitar 76 hektar, dirinya mengatakan, pihaknya telah membayar semuanya dan tidak tau soal 76 hektar tersebut.
“Kami sudah bayar itu semua lahan yang ada di situ, dan sudah punya dokumen. Biarlah mereka berargumen diluar persidangan. Kami kan yang di gugat. Kami merasa bahwa kami adalah pemilik yang sah dari lahan-lahan tersebut. Kalau soal salah dan benar, kita tidak ada komentar. Silahkan dibuktikan di pengadilan,” pungkasnya.
Diketahui, PT GLP dibangun untuk mengelola pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga uap 2×50 MW. Pada 14 Juli 2016, Perseroan memperoleh Power Purchase Agreement (PPA) dengan masa kontrak 25 tahun melalui skema Independent Power Producer (IPP). GLP berfokus pada menjalankan proses pemenuhan >span class=”s1″>operasi sesuai dengan PPA.
Penulis: Lukman