Judul di atas adalah sepenggal syair dalam lagu Bimbo karya
Taufiq Ismail yang berjudul “Anak Bertanya Pada Bapaknya”. Apakah lapar yang
kita rasakan sewaktu menunaikan ibadah puasa telah menuntun kita menuju rendah
hati?
Seseorang yang lapar dalam jangka waktu lama, kadar glukosa/gula darah di dalam
tubuhnya sangat terganggu.
Padahal otak sangat bergantung pada glukosa agar bisa melakukan tugasnya dengan optimal.
Saat anda merasa lapar dan kadar gula darah anda menurun tajam, anda mungkin akan mengalami kesulitan berkonsentrasi. Hal ini menyebabkan tugas yang mudah menjadi sulit untuk dikerjakan.
Bahkan berpotensi menyebabkan anda membuat sejumlah keteledoran. Otak yang kekurangan glukosa juga akan kesulitan untuk mengontrol gejala amarah. Gula darah rendah juga dapat disertai dengan kecemasan, kelelahan dan sakit kepala.
Larangan makan dan minum di siang hari selama Ramadan adalah ujian dahsyat, bukan hanya laparnya, tetapi juga karena makin lemahnya kemampuan kita mengendalikan emosi dan mengelola pikiran kita. Kita dituntut untuk bisa mengendalikan emosi/nafsu amarah, justru pada waktu sarana pengendalian yang kita miliki berada pada tingkat yang sangat rendah.
Jadi, sepertinya puasa yang diwajibkan bagi umat muslim (dan umat-umat terdahulu), salah satunya adalah untuk memaksa kita menyadari kelemahan kita. Hanya karena jadwal makan tertunda, kita sudah kesulitan mengelola pikiran, emosi dan hidup kita.
Bagaimana sulitnya
mereka yang makannya bukan hanya tertunda, tetapi selalu berkekurangan?
Semoga lapar ini mendorong kita berempati pada mereka yang menderita lapar
sepanjang waktu, karena memang tidak sanggup memperoleh makanan yang cukup.
Kembali kepada pertanyaan di awal, apakah lapar yang kita rasakan sewaktu
menunaikan ibadah puasa telah menuntun kita menuju rendah hati?.
Menurut saya, jawabannya adalah “Ya,” tinggal tergantung apakah yang dituntun mau menjadi rendah hati.*