Oleh : Dr. Funco Tanipu., ST., M.A
‘Tubuh adalah obyek untuk menjual pelbagai hal,
tubuh harus “direka-ulang” oleh “pemilliknya”
dan dilihat secara narsistik ketimbang secara fungsional’
– Jean Baudrillard
“Who needs identity then?” Identity is needed to mobilise different!”
– Gayatri Chakravorty Spivak
“Aku berlari, maka aku ada”
Funco Tanipu
Saat ini, lari atau berlari, tidak bisa lagi dikategorikan sebagai aktifitas biologis semata, tetapi sudah mengarah kepada pemenuhan lifestyle, mode baru dan untuk aktifitas sosio-antropologis manusia.
AKU BERLARI, MAKA AKU ADA
Dulu, lari/berlari bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh secara biologis, sekarang mulai bergeser untuk mempertegas identitas diri sebagai “the others” atau yang lain dibanding manusia yang lain. Performance dan style “yang beda” dari yang lain adalah penegasan tentang kemampuan diri, pencapaian hingga termasuk “show force” dari kesuksesan. Sebagai penegasan yang beda dari yang lain, outfit pun menjadi salah satu pembeda. Upload pengukur jarak dan kemampuan diri melalui aplikasi Strava, merek sepatu, logo terkemuka, kacamata, dan semua yang dibagikan melalui foto dan video adalah mode terbaru dalam mempertegas identitas diri yang lebih baru. Efek dari itu adalah sehat.
Aktifitas berlari ini memiliki banyak tujuan, untuk tidak menggunakan istilah “motif”. Ada yang sekedar tampil untuk mengisi timeline media sosial, ada yang bertujuan cari jodoh, ada yang ingin bercengkrama, ada yang ingin memperluas “circle” pertemanan dan tentunya . Bonusnya adalah ingin menjaga kesehatan.
Aktifitas berlari juga sebagai upaya manusia mempertegas diferensiasi dirinya dengan yang lain, tidak ada yang sama. Lari ataupun berlari adalah salah satu cara untuk membedakan itu. Secara umum, jika dipandang dari perspektif antropologis, berlari adalah salah salah satu bentuk ekspresi diri yang memungkinkan individu untuk menciptakan identitas mereka sendiri dan menunjukkan keunikan mereka kepada dunia. Berlari juga dapat menjadi sarana untuk meningkatkan rasa percaya diri, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Bersumbu dari logika Cartesian, salah satu sumbu pengetahuan barat (cogito ergo sum; aku berpikir maka aku ada), maka berlari kekinian bukanlah sekedar berlari, tapi berlari adalah peneguhan identitas diri; “aku berlari maka aku ada”.
REKAYASA PASAR UNTUK PRODUKSI TUBUH
Berlari sebagaimana penjelasan diatas menjadi arena untuk mempertegas diri agar senantiasa berbeda. Kenapa mesti berbeda, karena naluri dasar manusia ingin selalu unggul dibanding yang lain. Bahwa seorang manusia bisa saja kalah dalam hal-hal yang umum, tapi setiap manusia selalu berusaha “menang” pada hal-hal yang lebih spesifik. Berlari adalah salah satu ruang/wahana untuk menunjukkan keunggulan dalam kontestasi hidup.
“Unggul” dalam kontestasi ini bisa ditunjukkan dengan misalnya tergabung dalam sebuah komunitas lari, menggunakan merek jam tangan Garmin, sepatu Adidas atau Nike hingga merek yang lagi populer dan tentunya dengan harga yang tinggi. Pakaian pun demikian, semakin mahal dan bermerek, disitulah nilai kontestasi tersebut. Bagi produsen dari brand-brand tersebut, hasrast kontestasi dari setiap pelari menjadi “pasar” untuk terus menaikkan produksinya.
Pada tahap yang lebih lanjut, setiap kompetisi lari apakah hal tersebut adalah Lari Maraton 42 K, 20 K, 10 K hingga 5 K, menjadi arena kontestasi untuk menunjukkan keunggulan diri, bukan saja soal kemampuan fisik, tapi sekaligus unggul secara non fisik. Di atas itu, kontestasi berlanjut pada keikutsertaan pada momen nasional dan bahkan internasional. Semakin keatas, semakin sulit kontestasi.
Jadi, pada konteks kekinian, berlari tidak sekedar siapa yang pertama masuk garis finish dan meraih medali, berlari adalah upaya untuk menggungguli yang lain pada konteks sosio-antropologis.
Sehingga menjadi seorang pelari atau aktifitas berlari menjadi inspirasi, dambaan sekaligus cita-cita. Baik para pria maupun perempuan, identitas yang lebih segar adalah konstruksi baru tentang ganteng dan cantik yang lebih baru. Kegantengan/kecantikan tubuh bukan hanya fenomena biologis semata. Keduanya adalah karya peradaban yang rumit sejarah proses penciptaannya. Keduanya adalah bagian dari tubuh yang menjadi bagian dari atribut sosial dan identitas. Tubuh tidak lagi semata-mata bongkahan daging dan kiloan tulang. Tubuh memiliki muatan simbolis dan kultural. Mulut, bibir, mata, dan lainnya, memberi kesan tak hanya sekedar melengkapi struktur tubuh biologis tapi di balik itu bermain dalam ide dan citra.
Pengembaraan konseptual atas tubuh telah bergeser. Berlari dengan segala pernak-pernik adalah perlakuan tubuh secara spesifik, menjadikan tubuh bagai “berhala”. Bagi seorang Foucault, tubuh merupakan kompleksitas yang ‘rumit’. Tubuh tak sekedar jasad, tapi juga representasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa fenomena tubuh yang sosial bukan lagi pengaruh konsensus, melainkan perwujudan kuasa. Sehingga, kepemilikan atas tubuh oleh pemiliknya tidak lagi bersifat permanen, tetapi dinamis. Selalu ada perasaan ‘kurang’, senantiasa berproses hingga akhirnya terjadi eksploitasi atas tubuh.
Definisi ganteng/cantik yang didapatkan melalui “berlari” adalah konsep dinamis atas tubuh yang senantiasa ditafsirkan secara kompleks. Zaman yang selalu berubah, juga ikut ‘meminta’ tubuh ikut menyesuaikan. Berubah atau kolot adalah pilihan serius yang dialami secara kolektif.
Akhirnya, cantik/ganteng pada akhirnya adalah ilusi. Sesuatu yang harus selalu digapai, harus dipikirkan terus, dan harus siap menyesuaikan dengan segala kebutuhan untuk memenuhinya.
Secara fungsional, definisi ganteng/cantik terakumulasi melalui berlari, yang mulai digeser konteksnya, dari arena konstruksi tubuh biologis menjadi arena produksi sosial. Sebagai arena produksi, berlari dapat dipahami dari dua sisi, makro dan mikro. Dari sisi makro, berlari telah menjadi ajang perebutan kepentingan ekonomi dari perusahaan-perusahaan besar, media massa dan negara (elit politik) dalam rangka mengejar kepentingannya masing-masing. Perusahaan besar sangat intens menawarkan produk yang bernuansa “running”. Bahwa citra yang seharusnya tercipta saat berlari—versi perusahaan—adalah kemenangan yang dapat diraih dengan mengkonsumsi produknya.
Dari sisi mikro, berlari telah menjadi arena perjuangan individu, keluarga, komunitas dan masyarakat untuk peneguhan eksistensi diri. Pertunjukkan pertandingan ini bukan saja terjadi melalui wacana-wacana dan simbol-simbol hegemonik yang diekspresikan dalam setiap kegiatan berlari. Kita tentu mengakui bahwa semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Secara sadar masyarakat menorehkan identitas baru dalam batas waktu tertentu untuk gaya pakaian, dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel pada pilihan-pilihan kegiatan berlari yang dilalui.
Sebagai sebuah arena, tubuh direpresentasikan oleh pola yang dibentuk dan diatur oleh publik. Tubuh yang awalnya bersifat individual kini telah menjadi publik karena adanya panopticon dari publik ‘yang lain’. Mata publik tidak lagi menjadi bagian dari organ biologis, tetapi sebagai pengawas bagi tubuh. Mata adalah pula penjara bagi tubuh yang lain. Setiap orang merasa diawasi oleh ‘mata’ publik. Pengawasan inilah yang menyebabkan banyak penyakit psikologis timbul anoreksia, histeria dan agrophobia.
Dengan demikian, tubuh dipaksa untuk mengikuti aktiftas produksi secara terus menerus. Tubuh sosial yang ideal adalah mimpi terus dikejar dalam jangka waktu tak terhingga yang dikendalikan oleh pasar. Jika keinginan untuk menjadi ideal tersebut dihentikan oleh individu-individu tersebut, maka pasar dengan segala perangkat pengawas dan jaringan kontrol senantiasa memberi peringatan, bahkan akan terjadi pengalienasian terhadap individu yang tidak ingin merayakan terlibat dalam aktiftas produksi tersebut.
Tubuh-tubuh ini pun dipaksa untuk mengikuti selera pasar secara pasrah dan ikhlas. Pengawasan dan kontrol tersebut yang menjadikan kondisi psikis tubuh untuk tersebut bisa dikategorikan sakit atau sehat. Ia didapuk menjadi sehat jika bisa ikut mendalami dan mengikuti kuasa pasar tersebut, dan akan dikategorikan sakit jika ia abai terhadap perintah pasar tersebut. Foucault mengkategorikan tubuh yang patuh sebagai tubuh yang normal, dan yang tidak patuh adalah sebaliknya.
Sayangnya, mode ini lebih banyak berlaku pada usia yang berkisar diantara 25 – 50 tahun. Usia dibawah itu terlihat jarang berminat pada mode ini, padahal usia dibawah 25 tahun sangat penting untuk menjaga kesehatan sebab hari ini saja proporsi kalangan usia tersebut sudah berkisar di angka 50 an % dari total penduduk, dengan pola konsumsi yang serba “macam-macam” sehingga generasi produktif ini tidak siap secara fisik pada tahun 2030 nanti saat Indonesia masuk bonus demografi.
DARI GAYA HIDUP BARU MENUJU SOFT SPORT TOURISM
Sehingga, sebagaI tren baru dan mode kekinian hingga bisa menjadi kebudayaan pop (pop culture), berlari mesti didukung oleh berbagai macam hal yang bersifat elementer seperti dukungan regulasi terkait tata kelola lalu lintas dan tata ruang yang nyaman, dukungan infrastruktur yang memadai, memperbanyak ruang dan pagelaran lomba agar bisa berefek pada aktifitas UMKM, hingga aktifitas ini bisa memberikan kontribusi yang signifikan pada pertumbuhan industri kreatif daerah. Dukungan ini tentu saja mesti menjadi program strategis pemerintah di saat Gorontalo.
Pelaksanaan Gorontalo Half Marathon yang barusan dilaksanakan adalah momentum penting untuk menggerakkan sektor ekonomi kreatif dan pariwisata. Olahraga kini menjadi salah satu iven untuk bisa menggerakkan hal itu. Berlari adalah salah satu dari jenis soft sport tourism yang bisa dikembangkan menjadi salah satu kegiata rutin baik diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun komunitas.
Sebagai contoh, MotoGP Mandalika membawa efek baik bagi pelaku bisnis, terjadi peningkatan usaha di bidang akomodasi, makanan, dan minuman sebesar 22,29 persen. Adapun bisnis transportasi meningkat sebesar 15,36 persen. Kemudian pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf) meningkat hingga 41 persen, serta 23 persen di antaranya merupakan pelaku parekraf dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Wisatawan yang berkunjung ke NTB pun meningkat drastis.
Contoh lain adalah pelaksanaan gelaran Piala Dunia U-17, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebut perputaran uang dari event Piala Dunia U-17 di Indonesia bisa mencapai Rp1,02 triliun.
Penyelenggaraan lari marathon pun bisa memberi dampak seperti misalnya Berlin Marathon yang diikuti lebih 50 ribu pelari yang berasal dari seluruh dunia, khusus untuk pelari dari Indonesia berjumlah lebih dari 800 orang.
Contoh sukses tersebut menjadi penting untuk menggelar soft sport tourism seperti Gorontalo Half Marathon barusan. Inisiatif ini perlu diapresiasi setinggi-tingginya, apalagi kerja keras penyelenggaraan ini berkat Kerjasama Pemerintah Provinsi Gorontalo bersama beberapa komunitas lari di Gorontalo. Inisiatif Penjabat Gubernur Gorontalo Rudy Salahudin yang juga dikenal sebagai pelari Marathon perlu dicontohi kepala-kepala daerah yang akan terpilih melalui momen Pilkada yang tinggal sebulan lagi. Dalam artian bahwa untuk mengerakkan ekonomi lokal tidak mesti menggunakan anggaran daerah yang besar, yang paling penting adalah kolaborasi ide yang inovatif bersama seluruh stakeholder.