Oleh: Funco Tanipu
Dalam dua hari ini, ada tiga institusi pemerintahan yang diputus sambungan listriknya oleh PLN. Dua kantor di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo yakni Dinas Pangan dan BKD. Selain itu, Kantor Bupati Gorontalo Utara juga diputus listriknya.
Dari berita di berbagai media, total tunggakan dari Kantor Bupati Gorut sebesar 81 juta rupiah untuk bulan Desember 2019. Dinas Pangan menunggak lima bulan dengan total tagihan rekening listrik mencapai Rp. 58.363.997,-. Sementara Dinas BKD yang menunggak dua bulan, tagihan listriknya hanya sebesar Rp. 19.120.126.
Problem ini sebenarnya hanya puncak dari persoalan tata kelola energi kita yang memang cukup lemah. Persoalan tiga institusi ini adalah yang tampak di media. Selain itu, banyak problem energi (listrik) hampir di semua institusi pemerintahan. Hampir semua institusi pemerintahan cukup bermasalah soal listrik.
Jika kita hitung secara kasar, dari jumlah tagihan diatas, berarti tagihan listrik per kantor rata-rata 10 juta rupiah per bulan. Itu belum hitungan kasar kantor kepala daerah, seperti Gorut sebesar 80 juta per bulan.
Jika diasumsikan setiap Pemda ada 30 dinas (OPD) dengan tagihan antara 7-10 juta per bulan, ditambah dengan tagihan listrik kantor kepala daerah (Setda) berarti rata-rata tagihan listrik per bulan sekitar 260 – 300 juta rupiah per bulan, diluar tagihan kantor camat dan desa/kelurahan. Berarti setahun bisa mencapai rata-rata diatas 3 milyar rupiah yang harus dibayar oleh pemerintah daerah.
Bagi Pemda, angka tersebut kecil dibandingkan total APBD per tahun yang mencapai angka 1 triliun rupiah. Namun, jika kita menggunakan prinsip efisiensi anggaran, tentu hal itu adalah bagian dari pemborosan.
Tentu, kita tak boleh diam dan menggerutu sambil menyerah pada keadaan. Persoalan ini bisa ditangani dengan tiga hal ;
(1). Perlu dilakukan audit daya (energi) di setiap lingkungan pemerintahan. Audit energi penting untuk mengevaluasi pemanfaatan energi dan identifikasi peluang penghematan energi serta rekomendasi peningkatan efisiensi pada pengguna energi dalam rangka konservasi energi. Dari audit energi bisa kita hitung berapa konsumsi listrik kWh/bulan.
Dalam audit energi, bisa kita mengukur tata udara, tata cahaya dan peralatan pendukung lainnya.
Keuntungan audit energi adalah tersedianya baseline penggunaan energi dan roadmap tata kelola energi di lingkungan pemerintahan. Termasuk bagaimana men-setup kembali semua peralatan dan cara penggunaan energi di setiap lingkungan pemda.
(2). Mindset penggunaan energi kita masih boros dan tidak efiesien. Banyak mindset yang mulai berubah ketika “kerja harus dingin dan nyaman”, nyaman itu ditafsirkan dengan menggunakan pendingin udara dengan jumlah daya yang tinggi.
Ruangan panas itu karena desain tata ruangan sangat pendek, atap dan lantai didesain pendek. Makanya ruangan sangat panas jika pendingin udara tidak ada.
Beda dengan kearifan lokal leluhur kita yang membangun rumah atau bangunan dengan atap yang tinggi dan banyak ventilasi sehingga angin banyak masuk.
Corak berpikir kita dalam membangun bangunan mengikuti pola negara dingin, padahal walaupun bangunan mereka sempit dengan jarak atap dan lantai yang pendek, namun suhu udara tetap dingin, tanpa perlu pendingin udara.
(3). Penggunaan listrik yang berasal dari diesel dan batubara memang mahal. Namun, karena “rezim energi” kita sudah menguasai pikiran dan struktur, maka mindset listrik menjadi mentalitas kolektif.
Padahal, Indonesia khususnya Gorontalo memiliki banyak sumber energi yang bisa digunakan tanpa harus bergantung pada energi yang bisa habis. Energi terbarukan di Gorontalo cukup banyak, misalnya air dan angin.
Ketersediaan air yang melimpah bisa dimaksimalkan untuk membangun pembangkit micro-hydro di banyak tempat. Begitu pula dengan potensi angin di lembah dan pesisir yang cukup baik. Bisa dibangun pembangkit tenaga angin di puncak-puncak bukit diatas Pohe dan kantor Gubernur. Di pesisir seperti Gorut dengan panjang garis pantai lebih dari 300 km menjadi potensi energi yang luar biasa.
Belum dengan potensi “dua matahari” di Gorontalo yang cukup menyengat. Ini bisa jadi potensi solar cell yang cukup melimpah.
Bagi saya, energi yang tersedia adalah karunia dan berkah bagi kita sekalian. Anugerah ini tidak “tumpah” di daerah dan negara lain. Daerah seperti Gorontalo memiliki banyak potensi energi terbarukan dan kearifan lokal yang melimpah.
Bagian dari rasa syukur terhadap itu adalah dengan memanfaatkan dan mengelola energi secara lebih transformatif.