Gorontalo, mimoza.tv – Tahun 1979 seluruh dunia tiba-tiba diguncang gempa politik maha dahsyat. Revolusi Islam Iran meletus. Meruntuhkan Dinasti Pahlevi yang didukung Amerika beserta sekutu Barat dan Arabnya. Pemimpin revolusinya bukan militer. Bukan demonstran berwajah garang. Bukan politisi kaya intrik. Juga bukan pemimpin massa bersuara lantang.
Pemimpinnya seorang tua berjubah, memakai serban, berjanggut putih, berusia lanjut, bersuara lembut, berwajah sejuk, gerak tubuhnya sudah lambat. Auranya memancarkan karisma keulamaan yang sangat kuat. Masyarakat global mendadak mengenalnya sebagai Imam Khomeini.
Sementara nun jauh di negara Amerika sana, di jantung pendukung utama Syah Reza Pahlevi yang baru tumbang dan lari dari negerinya, seorang mahasiswi Afro-Amerika yang sedang belajar di jurusan broadcasting, ternyata diam-diam memperhatikan dengan seksama jalannya revolusi itu.
Mahasiswi itu adalah Melanie Franklin. Lahir di New Orleans pada 21 Desember 1959 dari keluarga yang beragama Protestan. Keresahan teologisnya pada konsep Trinitas membuatnya punya rasa ingin tahu yang besar tentang Islam dan ulama Islam pemimpin revolusi tersebut.
Setelah mempelajari dan membandingkan berbagai macam agama, dengan pendekatan teori dan ideologi. Termasuk membaca pandangan para pemikir sosiologi agama seperti Max Weber–yang banyak memberikan apresiasi kepada etika Protestan sebagai spirit kapitalisme. Akhirnya, kekagumannya kepada Imam Khomeini tak terbendung.
Ia masuk Islam. Dan mengganti namanya menjadi Marzieh, yang merupakan nama lain dari Fathimah Zahra, putri Rasulullah saw. Lalu menikah dengan laki-laki Muslim yang bernama Hashemi.
Setelah masuk Islam dan mengenakan hijab Muslimah secara sempurna, hari-harinya banyak dihabiskan dalam dunia jurnalistik. Menerbitkan dan mengeditori koran dan majalah Islam. Diantaranya menjadi pemimpin redaksi Majalah Mahjubah dan reporter Press TV–jaringan televisi berita Internasional berbahasa Inggris yang berbasis di Tehran–untuk wilayah Ameriika.
Tahun 2008, pindah dan bermukim di Iran. Menjadi pembaca berita dan pengampu diskusi di PressTV. Juga memproduksi film-film dokumenter.
Tanggal 13 Januari 2019, Marzieh Hashemi kembali ke negaranya untuk mengunjungi sanak keluarganya dan menjumpai saudara laki-lakinya yang sakit kanker.
Tetapi begitu mendarat di Bandara Internasional St. Louis Lambert, Missouri, polisi menangkapnya dengan alasan yang tidak jelas. Agen FBI lalu memindahkannya ke Pusat Penahanan di Washington DC. Selama dua hari, keluarganya kebingungan, karena sama sekali tidak ada akses kepadanya. Dan juga tidak ada pemberitahuan dari pihak FBI.
Setelah dua hari dalam tahanan barulah diberi kesempatan menghubungi keluarganya. Dia bercerita kepada anaknya bahwa dirinya diborgol dan dibelenggu.
Dia diperlakukan seperti penjahat. Dipaksa buka jilbab dan difoto hanya pakai baju kaos. Ketika memprotes keadaan tersebut, pihak FBI hanya memberikan satu lagi baju kaos untuk digunakan menutupi kepalanya. Kamar tahanannya tidak dilengkapi dengan fasilitas untuk beribadah sebagai seorang Muslimah.
Makanan yang diberikan hanya daging babi. Sehingga sampai sekarang ibu dan nenek berusia 60 tahun itu hanya makan cemilan ringan. Banyak pihak yang mengkuatirkan kesehatan badan dan mentalnya. Apalagi dalam keadaan puncak musim dingin seperti sekarang.
Pertanyaannya sekarang, dimanakah undang-undang Hak Asasi Manusia yang selama ini dipidatokan Amerika ke negara-negara lain di seluruh penjuru dunia, agar–katanya–tercipta tatanan dunia baru yang menghargai egalitarianisme kemanusiaan? *