Ahok tampak gelisah menunggu penerbangannya menuju Arab Saudi. Rencananya ia akan menjumpai Imam FPI, Rizieq Shihab, di Makkah. “Ketimbang menunggu Jokowi-Prabowo ketemu, saya ambil inisiatif menjumpai Rizieq,” kata Ahok sembari senyum di Bandara Soekarno-Hatta.
Baginya, kepentingan negara jangan sampai terganggu hanya karena satu-dua orang. Ketika ditanya apakah Rizieq Shihab telah siap berjumpa, Ahok mengatakan sudah dikonfirmasi bahwa mereka akan ketemu jam 5 sore waktu Arab Saudi.
Momen bersejarah itu nantinya akan menandai babak baru politik nasional. Sementara itu, Anies Baswedan merasa senang dengan rencana Ahok dan Rizieq. “Saya bersyukur kedua tokoh kita bertemu dengan hati bersih di tempat yang suci pula,” kata Anies.
Di tengah polemik Rizieq Shihab dimasukan dalam rekonsiliasi Jokowi-Prabowo, pertemuan Ahok-Rizieq dianggap bukan pertemuan biasa. Keduanya bisa menjadi teladan bagi Jokowi-Prabowo. “Harus ada yang ambil inisiatif,” demikian komentar Ahok.
Secara politik, kita tahu keduanya berseberangan. Mereka saling berhadapan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Namun keduanya tampak telah membuang semua dendam demi negara.
Ahok berharap pertemuannya dengan Rizieq Shihab akan menghasilkan kesepakatan. Rizieq pulang ke tanah air bersama Ahok untuk mengembalikan kehidupan politik yang sejuk, tanpa politisasi agama, tanpa politik identitas.
Mentari beranjak naik, panggilan kepada penumpang terdengar sayup. Ahok melambaikan tangan kepada para wartawan dan fansnya. Saat itulah saya sadar, “Ah, ini hanya mimpi.”
Meski hanya mimpi, saya percaya ini mimpi berkualitas. Bahkan saya yakin banyak yang memimpikan hal yang sama. Kecuali mereka yang menjadikan kehancuran negeri sebagai proyek mengisi rekening.
Rekonsiliasi Ahok-Rizieq lebih utama ketimbang Prabowo-Jokowi. Alasan saya sederhana, Prabowo-Jokowi pernah bersama dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Mereka juga telah bertemu saat Pilpres 2014.
Para pendukung keduanya juga mulai mencair, berbaur, dan melanjutkan rutinitas harian. Sementara, orang-orang yang mengultuskan Rizieq Shihab maupun Ahok, hingga kini, masih saling memandang penuh benci.
Kedua kelompok belum berdamai. Mereka belum merdeka dari perbudakan amarah dan dendam. Masing-masing belum mampu membedakan kepentingan sesaat dan jangka panjang sehingga masih saling membenci.
Mereka tidak akan mendukung siapa pun yang didukung Rizieq Shihab dan Ahok. Ketika Rizieq mendukung Prabowo, saya yakin tidak ada seorang pun pendukung Ahok yang mendukung Prabowo. Sebaliknya begitu.
Keduanya memiliki pendukung militan. Mereka hanya dengar yang dikatakan Ahok atau Rizieq. Aksi di depan MK membuktikan mereka tidak peduli dengan imbauan Prabowo. Para pendukung Ahok juga demikian. Bagi mereka, Ahok adalah pemimpin ideal.
Gejala kultus individu tidaklah elok di alam demokrasi. Fanatisme personal yang kini singgah di kepala pendukung keduanya akan rentan konflik. Karena itulah, bagi saya, rekonsiliasi keduanya akan mencairkan suasana.
Sabda keduanya akan selalu dinanti. Apa pun akan dilakukan, termasuk hal-hal yang di luar akal sehat bahkan melanggar aturan agama yang dianut. Bukan hanya pendukung mereka, Prabowo sekalipun dipastikan akan ikut arahan Habib Rizieq.
Kita tentu masih ingat kerja sama peranakan Arab dan Tionghoa di masa lalu. Abdul Rahman Baswedan, sebelum mendirikan PAI (Persatuan Arab-Indonesia), sempat berguru kepada pendiri PTI, Liem Koan Hiang.
Liem Koan Hian malah mempersilakan AR Baswedan untuk menggunakan koran miliknya (Harian Sin Po) sebagai alat perjuangan. Berkat koran itu AR Baswedan menjadi tokoh di kalangan Arab di Indonesia.
Kedua tokoh memiliki kesamaan dalam melihat Indonesia. Bagi mereka, etnis Tionghoa yang setia pada daratan Cina atau Arab yang setia pada Hadramaut adalah lawan.
“Lupakan itu Daratan Cina. Lupakan itu Hadramaut. Tanah airmu bukan di sana, tetapi di sini, di Indonesia,” demikian semangat nasionalisme keduanya pada saat itu.
Menurut saya, Ahok-Rizieq harus mencontoh kedua tokoh tersebut. Saling bahu-membahu membangun sikap nasionalisme. Melawan etnis Tionghoa yang berpikir Cina daratan, yang menganggap Indonesia sebagai ladang bisnis belaka.
Demikian pula dengan kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negeri Arab. Faktanya, kedua kelompok ini masih ada. Mereka kini mendompleng pada etnis Tionghoa dan Arab nasionalis.
Mereka tidak menganggap Indonesia sebagai negerinya sehingga mereka terus mempropagandakan kebencian pada etnis Tionghoa dan Arab. Mereka menjadi parasit bagi kedua etnis yang dulunya bersatu.
Akibat propaganda tersebut, ada yang membenci etnis Tionghoa dan ada pula pada etnis Arab. Ada generalisasi terhadap keduanya. Jika Tionghoa digambarkan sebagai kapitalis, maka Arab digambarkan sebagai kelompok khilafah maupun Islam radikal.
Itulah mengapa Liem dan AR Baswedan menganggap musuh etnis mereka yang tidak berpikir keindonesiaan. Ahok-Rizieq bisa mengembalikan suasana serupa. Mereka harus menyingkirkan perbedaan.
Mereka harus bicara dalam konteks keindonesiaan sebagaimana Liem dan Baswedan. Rekonsiliasi keduanya penting mengingat pengaruh mereka pada etnis masing-masing. Mereka harus melawan etnis yang masih menganggap Indonesia bukan negara mereka.
Jika keduanya tidak melakukan rekonsiliasi, propaganda anti-etnis Tionghoa dan Arab akan selalu menjadi isu politik. Bukan hanya itu, kebencian etnis akan mengganggu agenda besar bangsa ini, Persatuan Indonesia.
Siapkah Ahok dan Rizieq Shihab melakukan rekonsiliasi? Semoga bukan cuma mimpi.
Penulis: Don Zakiyamani