Oleh: Yanuardi Syukur
Inspirasi tidak datang tiba-tiba, tapi dia adalah hasil dari jerih payah. Setelah berpayah-payah kemudian tibalah dia datang. Jadi, dia hadir setelah kesulitan.
Hudhud bawa surat ke Ratu Bilqis. Dia pembawa pesan paling legendaris, dan namanya tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Naml. Abu Bakar Asshiddiq namanya diseru di pintu-pintu surga, karena apa? Hatinya terikat dengan Tuhannya, setiap detik. Kalimatnya selalu untuk agamanya, dan tindakannya selalu dalam rangka menebar hidayah-Nya.
Imam Ahmad bin Hambal jalan kaki dari Baghdad sampai ke Shan’a. Satu bulan berjalan, seorang ulama tujuannya untuk dapat satu hadis. Kekasaran yang dialami, adakalanya mengasilkan kemuliaan. Ibnu Taimiyah dipenjara, tapi otaknya tidak; dia jadi tokoh langka, dan banyak membahas perjuangan dan pemikirannya–baik itu pro atau kontra.
Para tokoh mulia berjuang dan bersegera. Tidak mau mereka bermalas-malas. Mereka ingat, ada kalimat “cepatlah!” (wa sari’u), “berlombalah!” (saabiqu), dan “segeralah!” (fas’au) dalam Al-Qur’an. “Bersegeralah kamu mengerjakan amal,” dan “bersegeralah memanfaatkan kesempatan yang lima sebelum datang yang lima”, demikian petikan dari hadis Nabi.
Maknanya? Bersegera. Jika lihat tokoh mulia, bersegeralah ambil kebaikannya. ‘Download’ kebaikan itu, dan install dalam diri kita sendiri. Tak ada ruginya memperbanyak sifat baik, bukan? Bahkan, kalaupun orang sudah melakukan seribu kebaikan pastilah kebaikan itu terasa sangat kurang. Maka dia pun mencari lagi kebaikan-kebaikan yang baru dari yang terdekat maupun yang jauh.
“Adakah sama orang yang tahu dan yang tidak tahu?” QS. Az-Zumar ayat 9 mengatakan itu. Pastinya tidak sama. Apakah sama orang berilmu dan orang tidak berilmu? Pasti beda. Kedudukannya di hati orang sudah pasti berbeda. Orang terkenang dan merasa beruntung berteman dengan orang yang berilmu.
Orang yang berilmu itu jika bertambah lagi hikmah dalam dirinya, itu lebih dahsyat lagi. Ilmunya makin tinggi, tapi hatinya makin arif. Keilmuan dan kearifan jika menyatu dalam satu orang akan melahirkan gelombang kemaslahatan. “Tidak semua mata bisa melihat alam gaib,” kata Kiai Nasaruddin Umar, tadi pagi. Mata wali, lanjutnya, “sensitif, bisa lihat sesuatu secara transparan, apa hakekat di balik yang nyata.”
Orang berilmu dan arif itu adalah orang yang menggunakan organ tubuhnya untuk mengabdi. Matanya, mulutnya, tangannya, dan semuanya bergerak untuk pengabdian. Organ-organ yang paling sering buat dosa itulah yang kemudian sering dibasuh dalam wudhu. “Semua organ tubuh yang dibasuh wudhu,” lanjut Kiai Nasaruddin, “itu yang sering berbuat dosa.” Air yang kena pada organ itu akan menghapus dosa-dosa yang dilakukan oleh organ-organ tersebut.
Singkatnya, “lain kepintaran, lain kearifan.” Tapi, bagaimana kalau kita gabungkan saja: pintar dan arif dalam satu tarikan nafas. Tidak semua orang bisa, tapi sebagian orang yang kita kenal bisa menggabungkan keduanya. Perlu ada latihan bagaimana mengembangkan pengetahuan berbasis olah pikir yang melahirkan ilmu dan olah batin yang melahirkan ma’arifah.
Ketika melihat orang mulia, maka mari kita ambil keteladanan darinya. Kemuliaan tiap orang sangat mungkin bertingkat-tingkat, begitu juga kedalaman dan keteladanannya. Kadang kita bisa ambil hikmah dari orang yang terlihat biasa-biasa saja, penampilannya tidak mewah, tapi dia memiliki sesuatu yang kita butuhkan untuk menjalani kehidupan. Lain waktu, kita juga akan dapat hikmah dari orang yang terlihat luar biasa, dan memang memancarkan energi kecemerlangan yang sangat kita butuhkan untuk menggerakkan organ-organ tubuh demi kemaslahatan.
Sejak ada media sosial, orang senang berbagi sesuatu yang dia pikirkan, dia rasakan, dia niatkan, dan dia inginkan. Tapi kadang orang tidak bijaksana dalam berbagi itu, karena semua hal mau dibagi, padahal tidak semua hal harus dibagi. Dan, tidak semua tempat juga harus mendapatkan porsi untuk dibagi. “Setiap tempat ada kalimatnya, dan setiap kalimat ada tempatnya,” kata bijak bestari.
Menjadi pintar dan bijaksana–di zaman seperti sekarang–memang tidak mudah. Butuh kebesaran hati dan kedalaman jiwa yang dibalut dengan ketinggian ilmu. Semakin berilmu idealnya seseorang semakin tinggi ketaatannya, seperti motto Forum Kajian Insani, organisasi mahasiswa yang pernah saya ikuti: “Setinggi ilmu sedalam taat.” Ada betulnya motto itu. Setinggi ilmu kita harusnya sedalam juga ketaatan kita kepada-Nya.
Agar memiliki ketinggian ilmu dan kedalaman taat maka kita harus belajar dari orang-orang mulia di sekitar kita. Pelajari bagaimana caranya berpikir, bagaimana caranya bertindak, dan bagaimana caranya menghadapi situasi-situasi sulit. Ada kebaikan, ambil. Jika ada kekurangan, isilah dan fokuslah untuk memperkuat kebaikan.