Gorontalo, mimoza.tv – Di tengah minimnya senjata, para pejuang republik tidak punya banyak pilihan lain kecuali menggunakan bambu runcing sebagai alat untuk menghadapi musuh mereka. Sebagai senjata, bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang saat itu dikenal dengan sebutan takeyari.
Sejatinya bilah bambu ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari, yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan.
“Laiknya seorang prajurit tengah menggunakan senapan bersangkur,” tulis R.H.A. Saleh dalamMari Bung, Rebut Kembali!
Para pejuang Republik untuk menjadikan bambu runcing miliknya “bukan hanya sekadar bambu”. Dalam bukunya yang berjudul Guruku Orang-Orang Pesantren, Syaifuddin Zuhri menyebut figur Kiai Haji Subkhi, seorang ulama besar di Parakan, Temanggung yang pada masa revolusi kemerdekaan dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing.
Julukan itu muncul karena Kiai Subkhi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh doa untuk nantinya digunakan para pejuang Republik di medan laga.
Uniknya, para pejuang yang datang ke Parakan bukan hanya berasal dari kalangan santri. Para laskar yang tergabung dalam barisan kaum kiri juga mendatangi Kiai Subkhi sekadar untuk mendapatkan barokahnya.
Di antaranya adalah Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman (tokoh PKI) dan Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Krissubbanu.
Sumber: Potret Sejarah Indonesia.