Gorontalo, mimoza.tv – Joko Siswanto dan rekan-rekannya di Organisasi Pengurangan Resiko Bencana (OPRB) Lahara menggelar pelatihan mitigasi kebencanaan, Selasa (27/11/2018). Ini adalah kegiatan rutin, karena Desa Jumoyo, Kabupaten Magelang, tempat organisasi itu bergerak, berada di kawasan bencana Gunung Merapi. Januari 2011 lalu, desa ini kehilangan sebuah kampung kecil yang diterjang lahar sisa letusan Merapi.
“Kegiatan ini rutin, karena OPRB memang dibentuk berdasar surat keputusan dari desa. Banyak hal yang dibicarakan terutama seputar kesiapan menghadapi bencana,” kata Joko Siswanto, seperti dilansir dari VOA.
OPRB adalah organisasi berbasis masyarakat desa yang dibentuk untuk melakukan koordinasi penanggulangan bencana. Sebagai negara rawan bencana, Indonesia belajar dari pengalaman dan memaksimalkan peran masyarakat bawah.
Peran Radio dalam Mitigasi
Di lereng Merapi, di ketinggian 1300 di atas permukaan laut, Radio Komunitas Lintas Merapi turut mengawasi aktivitas gunung sekaligus melakukan siaran. Materinya lebih banyak hiburan, namun peningkatan kesadaran masyarakat agar lebih siap menghadapi bencana menjadi salah satu tujuan utamanya. Melalui frekuensi 107.9 FM, radio ini mengudara dari Desa Deles, Klaten, dan mungkin menjadi studio siaran paling dekat dengan puncak Merapi.
Koordinator radio ini, Sukiman kepada VOA menjelaskan, mereka memiliki jalur informasi langsung dengan badan pengawasan gunung Merapi sebagai sumber informasi resmi. Namun sebaliknya, studio radio ini juga berperan sebagai pos pemantau aktivitas Merapi. “BPPTKG menitipkan sejumlah peralatan di studio kami. Mereka bisa membaca hasil pemantauannya, begitu juga kami. Tapi, tidak bisa hasil pemantauan itu langsung kami siarkan,” kata Sukiman.
Radio Komunitas Lintas Merapi juga menjadi koordinator pendataan desa-desa di lereng Merapi terkait kesiapan bencana. Mereka menghitung jumlah sepeda motor, truk, kepala keluarga hingga sapi. Termasuk merencanakan apa yang harus dilakukan dan siapa yang menjadi koordinator di setiap desa.
Meski merupakan radio mitigasi bencana, siaran yang diudarakan tidak melulu berisi informasi terkait kebencanaan. Sukiman dan kawan-kawan menjadikan radio ini sebagai saluran hiburan bagi masyarakat pedesaan. Di sisi lain, radio ini juga dipercaya menjadi rujukan informasi terkait Merapi, di tengah banjir informasi yang tidak terverifikasi dengan baik di media sosial. Radio ini menyampaikan informasi terkait Merapi dengan sangat berhati-hati.
“Saya sudah tahu ada yang bisa disampaikan dan tidak. Ada yang hanya boleh diketahui tim relawan saja, dan ada yang bisa dikonsumsi umum. Saya belajar dari media. Bukan karena pintarnya media, tetapi media yang suka lebay memberitakan sesuatu yang belum tentu dan membahayakan masyarakat. Karena semua informasi itu berdampak pada tindakan masyarakat,” jelas Sukiman.
Masyarakat Lebih Siap
Jatmiko, pegiat dari Forum Merapi Merbabu Hijau di Magelang, Jawa Tengah menilai, masyarakat di sekitar Merapi saat ini jauh lebih siap menghadapi bencana dibanding dulu. Teknologi yang berkembang, membuat mereka mampu mengakses informasi sangat cepat. Di samping itu, pengalaman menghadapi letusan Merapi membuat peningkatan kapasitas menjadi agenda yang terus diselenggarakan di berbagai komunitas. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga sangat terlihat.
“Masyarakat untuk sekarang ini, karena banyaknya pelatihan dan informasi, maka lebih siap. Untuk akses ke BPPTKG, atau ke dinas terkait itu lebih cepat. Pelatihannya banyak sekali. Dari BPBD dan BPPTKG sering memberikan penyuluhan ke desa-desa. Masyarakat dan pemerintah saat ini tidak seperti tahun 2010, sekarang jauh lebih siap,” jelas Jatmiko.
Salah satu yang masih harus dikembangkan, kata Jatmiko, adalah konsep sister village. Konsep ini pernah disuarakan pasca letusan Merapi 2010 lalu. Skemanya adalah dengan menetapkan desa di kawasan aman bencana memiliki satu saudara di desa rawan bencana. Jika Merapi meletus, masyarakat yang terkena dampak dapat meminta bantuan ke desa aman yang menjadi saudaranya tersebut. Sejauh ini, masih dibutuhkan keseriusan seluruh pihak dalam merealisasi konsep sister village tersebut.
Gunung Merapi sendiri kini dalam status Waspada. Sejak Agustus lalu, gunung di perbatasan DIY dan Jawa Tengah ini menggeliat. Sempat meletus dan menyemburkan abu sisa letusan 2010, Merapi saat ini sedang menumpuk material vulkanik di puncaknya. Material ini keluar dari perut bumi dengan jumlah rata-rata 3.000 meter kubik perhari, dan saat ini telah mencapai volume 308.000 meter kubik.
Merapi Aktif Tetapi Aman
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani, memberikan keterangan resmi hari Senin kemarin di Yogyakarta. Keterangan ini diberikan terkait peningkatan aktivitas Merapi. Puncak Merapi memiliki volume kubah lava sekitar 10 juta meter kubik. Meski material yang terkumpul baru 300 ribu meter kubik, guguran terjadi karena ada sisi puncak yang terbuka sebagai hasil letusan 2010 lalu.
Kasbani menambahkan material kubah lava 2018 saat ini sudah mencapai batas permukaan kubah lava 2010 di semua arah, termasuk pada arah bukaan kawah. Kondisi ini memungkinkan guguran material kubah dapat langsung meluncur ke luar kawah. Luncuran ini antara lain terjadi pada 23 November 2018 dimana teramati 4 kali guguran lava mengarah ke bukaan kawah, hulu Kali Gendol. Jarak luncur terjauh 300 meter dan terjadi pada pukul 19.05 WIB.
“Berdasarkan pemodelan, jika sebagian besar volume material kubah lava saat ini runtuh, maka awan panas dapat meluncur ke arah Kali Gendol sejauh 2,2 KM. Perhitungan ini berdasarkan asumsi kondisi kubah lava tidak stabil. Namun, saat ini kondisi kubah lava masih stabil dan berada tepat di tengah kawah,” kata Kasbani.
Kasbani menekankan, masyarakat untuk tetap beraktivitas biasa asal menghindar area yang dilarang untuk dimasuki. Pertumbuhan kubah lava masih sangat lambat, dan petugas memantau kondisinya setiap saat. Masyarakat tidak perlu khawatir terjadi awan panas. Apa yang saat ini terjadi, jauh dari apa yang terjadi pada tahun 2010 lalu.
“Saat ini sudah terjadi longsoran kecil. Untuk menjadi awan panas, tentu ini membutuhkan yang lebih besar lagi dan jika dalam kondisi tidak stabil. Minimal awal panas baru berpotensi terjadi jika dua kali volume sekarang, tetapi ini belum tentu terjadi. Untuk terjadi awan panas dibutuhkan rentetan yang lebih besar. Ini akan kita evaluasi terus perkembangan. Sampai saat ini kondisi gunung masih aman selama masih dalam radius tiga kilometer,” kata Kasbani.
Merapi memasuki fase erupsi magmatis pada 11 Agustus 2018, ditandai dengan munculnya kubah lava. Ini menunjukkan bahwa erupsi 2018 ini bersifat efusif.Kondisi ini sesuai dengan skenario bahwa aktivitas paska letusan 2010 akan cenderung mengikuti kronologi aktivitas paska 1872. Paska letusan 1872, kubah lava baru muncul pada 1883 atau 11 tahun kemudian. Sedangkan paska 2010 kubah lava baru muncul tahun ini atau setelah delapan tahun. (ns/ab/luk)