Upaya penyelamatan Danau Limboto seperti memperoleh angin segar pasca kunjungan Menteri Bappenas di Gorontalo. Danau Limboto adalah satu diantara tujuh danau prioritas di Indonesia yang semakin kritis dan menghawatirkan. Bagi Gorontalo, Danau ini tidak sekedar sebuah ekosistim perairan namun memiliki berbagai fungsi. Danau Limboto berperan sebagai sumber pendapatan bagi nelayan, obyek wisata hingga menjadi pencegah banjir. Kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aliran air dari 5 sungai besar dan 23 sungai kecil yang bermuara ke danau tidak bisa lagi ditampung oleh ekosistim danau. Maka revitalisasi menjadi sangat urgen dan krusial. Kunjungan ini setidaknya menjadi semangat dan harapan baru bagi upaya penyelamatan Danau Limboto.
Upaya revitalisasi sebetulnya sudah berjalan sejak 2012. Pekerjaaan utamanya mencakup pembangunan pengendali sedimen, pekerjaan groundsill, pengerukan, pembangunan tanggul, pembangunan jembatan, hingga pembersihan gulma. Dalam kurun waktu 2012-2017, total biaya APBN yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 570 M lebih. Upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo bersama Pemerintah Kota dan Kabupaten Gorontalo juga cukup maksimal. Mulai dari penyadaran masyarakat sepanjang pesisir danau, peningkatan ketrampilan hingga penataan zonasi dibadan air untuk usaha perikanan. Semua dilakukan parallel dengan revitalisasi fisik danau.
Kenyataannya hingga kini kondisi danau masih mengkhawatirkan. Kerusakan lahan atas membawa butiran sedimen masuk ke danau dan menyebabkan sedimentasi. Akibatnya, luas danau menyempit tajam menjadi sekitar 3.334.11 ha. Bandingkan dengan luas pada 1932 yang mencapai 8.000 ha dengan kedalaman hingga 30 meter. Dari beberapa kajian yang dilakukan, luas danau berkurang sekitar 62,60% dalam kurun waktu 52 tahun. Parahnya, 70 % luasan tersebut ditutupi eceng gondok dan tanaman air lainnya. Akibat degradasi lingkungan, kondisi danau saat musim kering debit air berkurang jauh, saat musim hujan air melimpah kebawah dan menyebabkan banjir. Danau Limboto juga mengalami eutrofikasi dan pencemaran limbah cair dan padat.
Fakta di atas tidak lepas dari factor antropogenik yang didorong oleh kegagalan perilaku (behavior failure) individu sebagai user. Perilaku menyimpang ini merefleksikan kondisi status quo bias. Kondisi ini menjelaskan bahwa kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung saat ini dianggap lebih menguntungkan ketimbang mencoba perubahan. Ada free rider dalam program penyelamatan danau. Akibatnya revitalisasi danau menjadi sebuah paradoks. Penyebab kerusakan tetap ada saat upaya penyelamatan tengah berjalan. Land clearing, deforestasi, peladangan berpindah, hingga budidaya eceng gondok (bibilo) dianggap seperti hal biasa walaupun sosialisasi hingga pelarangan dan penegakan hukum sudah dijalankan.
Karenanya memahami status quo bias penting dalam upaya revitalisasi danau kedepan. Fenomena status quo bias terjadi akibat kelemahan dalam membaca narasi kepentingan para pelaku (masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya). Diperlukan studi-studi lanjutan medalam terkait perilaku individu temasuk mengapa begitu sulit menghentikan land clearing akibat peladangan berpindah maupun deforestasi. Apa yang menyebabkan masyarakat seolah lebih mementingkan eksploitasi sumberdaya dan mengabaikan kepentingan lingkungan. Studi semacam ini akan melengkapi pandangan neo-klasik tentang individu manusia.
Dalam pandangan neo-klasik, manusia sebagai homo oeconomicus diangggap tidak pernah mengalami kebingungan dan ketidakajegan dalam menentukan pilihan. Individu dianggap mampu menyerap dan mengkalkulasi setiap informasi yang tersedia sehingga sanggup memperhitungkan setiap sisi keuntungan dan kerugian yang mungkin ditimbulkan dari setiap pilihan. Peraih Nobel Ekonomi, Richard Thaller, meringkasnya sebagai pribadi yang memiliki rasionalitas tak terbatas (unbounded rationality), dorongan bertindak yang murni untuk kepentingan pribadi (pure self-interest), dan complete self-control atau memiliki kendali diri yang sepenuhnya atas tindakan-tindakannya.
Sejatinya, manusia justeru memiliki keterbatasan dalam mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan sesuatu tindakan (bounded rationality). Menurut pakar ekonomi perilaku, Daniel Kahneman, hal ini terjadi karena individu membatasi jumlah penalaran yang mereka gunakan ketika harus membuat keputusan karena ingin menghemat upaya kognitif yang diperlukan. Individu umumnya tidak ingin menghabiskan waktu yang dibutuhkan menggali informasi yang diperlukan dan membuat keputusan yang optimal.
Bias heuristic ini mendorong individu membuat keputusan berdasarkan kemudahan suatu informasi tertentu muncul dalam pikiran. Individu juga seringkali bertindak sesuatu yang dia tahu bahwa hal itu tidak menguntungkannya dalam jangka panjang (bounded willpower). Kemudahan menebang pohon, melakukan peladangan berpindah hingga memelihara eceng gondog bisa jadi merupakan ilustrasi anomali perilaku ini.
Dalam pandangan ekonomi perilaku (behavioral economics) individu diasumsikan akan meminimumkan expected regret (penyesalan) dan loss averse dibandingkan dengan memaksimumkan expected utility (kepuasan) dan risk averse sebagaimana yang dipahami dalam ekonomi konvensional. Hal ini dilengkapi dengan anomali lain yang juga penting diperhatikan yakni sunk cost, fenomena ‘terlanjur basah.’ Fenomena di atas menjelaskan ada semacam perlombaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dalam kawasan Sub Das LBB. Pengguna merasa sudah terlanjur mengeluarkan biaya. Sehingga merasa rugi jika tidak bisa memperoleh pengembalian atas pembiayaan tersebut.
Hal-hal ini perlu menjadi perhatian dalam langkah penyelamatan danau Limboto dan danau-danau lain di Indonesia. Selain mengelaborasi pendekatan sistim, upaya penyelamatan juga perlu mewaspadai kondisi status quo bias dengan mempelajari perilaku actor dalam isu pengelolaan Danau Limboto. Untuk itu, kolaborasi interdisipliner, antara lingkungan, ekonomi dan psikologi perlu dikedepankan agar menghasilkan pendekatan komprehensif dalam upaya penyelamatan danau.
Semoga pendekatan ini bisa membawa angin perubahan dalam penyelamatan Danau Limboto pada khususnya dan lingkungan pada umumnya.