Wawancara imajiner Syam Terrajana
MATANYA basah kuyup. Dia menutup muka, sesengukan. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang terus tumpah. Celak hitam di matanya luntur oleh air mata. Dia menangis penuh frustasi.
“Aku dihancurin kak,dikupas, dilumat terus sampai habis, semuanya memandangku hina, termasuk kawan-kawanmu, dengan berita berita murahan dan sensasional itu,! ” raungnya.
Aku terdiam. Kuraih selembar tisu dan kuberikan kepadanya. Pundaknya yang bergetar coba kupegang. Penuh empati lagi hati-hati.
Sudah tiga jam kami berbincang. Berdua saja. Aku dan dia, dalam sebuah kamar hotel bintang lima. Ruangan itu begitu dingin. Tirai jendela tertutup. Cahaya temaram dari lampu tidur di sisi ranjang, menampar mukanya yang sendu. Bulir-bulir air matanya tempias oleh cahaya.
Tiga jam! Dan perempuan itu terus saja menangis. Dan aku belum bertanya sedikitpun. Bungkam, terperangkap dalam diam. Biar.
Kubiarkan dia menumpahkan segala-galanya. Dadanya naik turun. Dia seperti gunung yang hendak meletus. Aku kerap mewawancarai banyak orang. Tapi baru kali ini aku terjebak situasi yang amat emosional. Berkali kali aku menelan ludah, menunduk dan menghela nafas dalam-dalam. “Berita-beritaku, itukah yang menurut kalian pantas dinikmati masyarakat? Katanya pers itu ada untuk mencerdaskan bangsa. Aku ini single parent kak. Punya anak dua, bagaimana Aku harus menjelaskan pada mereka, namaku sudah jelek, nama baik keluarga besarku tercoreng, Aku dibilang PSK, jelas aku gak terima, Aku tidak menjual diri,”
“Aku punya pekerjaan, kontrak- kontrak yang harus kutanda tangani. Ada ratusan juta nilainya, Aku bisa perlihatkan pada kakak. Sampai detik ini pun saya tidak pernah terbersit menjual diri. Lebih baik aku foto telanjang dan dibayar. Coba, bagaimana aku harus menjelaskan kepada anak anakku nanti, bagaimana? ?!!” dia meraung lebih keras.
“ Sabar ya mbak, mbak N*a (sori, nama perempuan itu harus saya sensor) kan pernah nyantri di pesantren meski hanya sesaat. Tawakallah, serahkan semua ini kepada Tuhan,” aku akhirnya membuka suara.
Seketika matanya melototiku. “..Jangan ceramahi aku ya kak, please! aku pikir kakak tidak sama seperti mereka, wartawan -wartawan ngehe tak berperikemanusiaan itu,” suaranya datar namun tajam.
Matanya berkaca-kaca. Aku tambah gugup. Sialan. Sepertinya aku salah bicara. “Ss, sori Na, Saya tidak bermaksud begitu,” “Sudah, gak usah sok menjaga etika jurnalistik deh kak,” “Maksudmu?” “Gak usah nyensor-nyensor namaku, sebut saja terang-terang, Nikita, toh semua orang sudah tahu kasusku, bahkan semuanya tahu sebagian besar tubuhku, tato-tatoku,” dia masih terisak. Mm, baiklah, baik Nikita, jika itu maumu,” Nikita menyeka air matanya. “ Kakak tahu kan, kemarin aku diundang di TV One, di acaranya Aielsi-nya Oom Karni, kupikir di forum itu- karena dihadiri para pengacara dan para aktivis LSM yang adil dan beradab itu- aku bisa memberikan klarifikasi seluas-luasnya kepada masyarakat, nyatanya apa kak? Aku tetap dibully! Di awal acara, Oom Karni bilang bahwa kali ini kita akan membicarakan kasus yang ringan, setelah empat kali berturut turut mengangkat topik yang berat, Coba, kasus yang menimpaku dibilang ringan kak, lalu Oom Arswendo membacakan sajaknya Rendra, tau kan? Yang “Bersatulah Pelacur-pelacur Jakarta” itu, acara juga diisi dengan lagu “Gadis Malam”, sementara kamera terus mengarah padaku, close up, apa itu bukan bully? Babi!!,” “Dan bapak polisi, (Nikita kian geram, suaranya bergetar) di acara itu bilang bahwa mereka sengaja menjebak aku, katanya justru untuk melindungi aku.
Katanya aku korban kasus jual beli orang. Tapi kenapa wajahku yang terus menerus muncul di tivi, kenapa justru wajah pelaku traficking itu disembunyiin, dipakein tutup kepala, kenapa? Ada apa dengan isi kepala mereka, kalian? Faaakkkk!!,” Nikita memekik.
Aku mengangkat kepalaku. Menatap lekat -lekat. Ada lima menit dia melolong. Setelah tenang akhirnya aku bicara. “Nikita, begini.
Maksudku adalah, kasus prostitu.. Emm, maksudku kasus tuduhan prostitusi seperti ini kan banyak, dulu Amel Alvi, juga kena, toh berlalu juga. Ariel, Luna Maya, Cut Tari, video telanjang mereka bahkan beredar dimana-mana, masih terus diburu dan diunduh demi fantasi cabul kaum hipokrit. Tau nggak bahkan dulu presiden Soekarno juga pernah kena kasus serupa,” Nikita diam, dengan sisa-sisa air matanya. Aku melanjutkan: “Dulu, CIA pernah bikin operasi rahasia untuk menjatuhkan pamor Soekarno. Itu karena Soekarno telalu dekat dengan blok komunis, dan anti kapitalisme,” Nikita mulai menyimak.
Aku berdiri. Berjalan ke arah jendela dan mengintip di balik tirai. “Mereka tahu Soekarno begitu dicintai rakyat, punya banyak pendukung fanatik, Mereka tahu terlalu sulit menjatuhkannya. Itu artinya, Amerika akan semakin sulit menanamkan modalnya, mengeruk kekayaan sumber daya alam Indonesia,” “Omaigad, lalu apa hubungannya dengan kasus saya, apa coba?” Nikita berdiri menghampiriku.
Aku membuka jendela . Angin masuk menerpa tirai . Nikita masih mematung di belakangku.Tangannya mendekap tubuhnya sendiri. Erat. “Mau..? ” aku berbalik. Menyodorkan sebungkus rokok kepadanya. Nikita mengulurkan tangan. Mengambilnya sebatang. Kusorongkan korek api. Tiupan angin mematikannya. Kudekatkan wajahku pada wajahnya. Rokok menyala. Asap dari bibirnya gerayangi wajahku. “..Salah satu cara CIA untuk menjatuhkan Soekarno, adalah membuat film porno. CIA menyewa aktor yang mirip Soekarno, untuk mendiskreditkannya,” kataku menjentikkan abu rokok di jendela. Nikita menerawang, menghembuskan asap. Menopang tangan kanan dengan tangan kiri. “Lalu pecah tragedi 1965. Orang orang dibantai, disembelih.
Mereka adalah orang -orang yang dituduh PKI , tak bertuhan, ikut bersekongkol membunuh para jendral secara sadis, katanya ada Gerwani, mengiris muka dan kemaluan para Jendral sembari menari, menyanyi genjer genjer . Lalu Orde Baru berdiri, mengangkangi jutaan mayat. Lalu Freeport Macmoran datang, Soeharto mempersilahkan mereka menggali lubang besar di Papua. Lalu….” “Ssssssh.. heh kak, aku susah -susah kemari bukan untuk mendengar ceramah sejarahmu. Aku bukan mahasiswamu. Kau bukan dosen, “ “Sori, sori, bukan maksudku begitu,” aku mengangkat kedua tanganku.
Aku kembali salah tingkah. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam, mengepulkan asap pelan-pelan. bibirnya rekah. (Bajingan, aku gugup lagi. Sumpah! dia terlihat lebih cantik di tepi jendela. Kena terpa angin dan cahaya lampu kota, sebagian tubuhnya jadi siluet.) “Kok diam kak, lalu ?” matanya tajam melirikku. Terasa manja, menggoda sekaligus meringkus rasa gugupku. (Tolong aku Tuhan, kuakui mahluk ciptaanMu di hadapanku ini begitu seksi! Ampuni hambamu!) .
Mendadak kurogoh kantong celanaku. Ada ponsel bergetar di dalamnya. Ada panggilan telepon. “ Sebentar ya mbak, just a minute” aku melengos cepat. Berlalu, hendak membuka pintu kamar. “Tunggu!!” Nikita menjerit Aku menoleh kepadanya, meletakkan telunjuk di bibirku. Memintanya diam. “Ini bukan jebakan Batman lagi kan,” katanya melotot. Penuh selidik. “Maksudnya?” “Kakak mau bawa polisi lagi ya? Atau jangan -jangan sudah sekongkol dengan wartawan infotainment?? ,” Telepon kumatikan. “Siapa tadi yang nelpon?,” lagi-lagi nadanya penuh selidik.
Sekilas malah terdengar seperti seorang perempuan yang cemburu kepada kekasihnya. Aneh. Aku merasa tersanjung. Bajingan. Nikita cemberut. Roman mukanya kini malah lucu. Mirip ekspesi Abege alay sedang selfie. Dia memang janda beranak dua. Tapi rasanya dia pantas mengaku mahasiswi . Kini aku yang tersenyum geli. “Lihat aja sendiri,” kusodorkan ponsel itu kepadanya. Nikita spontan meraihnya. Memencet-mencet layar sentuh ponsel Made in China itu. menelusuri panggilan telepon yang terakhir kali masuk.
Dia lalu memandangku. Aku memberi isyarat. Mempersilahkannya. Dia lalu menelpon balik. Mengaktifkan speakernya. Satu nada panggil. Dua nada panggil. Lalu: “Ya, Syam, kiapa tadi ngana kase mati telpon ?,” ujar suara dari seberang. Terdengar bising lalu lalang kendaraan. “Sori, ini bukan Syam. Ini siapa?,” “Lha, mbaknya siapa?,” “aku Kawan Syam” “Aku juga Kawan Syam” “Ini Nikita ya?” “Kok tahu? Kamu siapa” Nikita melirikku. “Aku Yudin mbak, kawan syam,” “Hm” “Hm juga, hehehehe” “Kamu tadi nelpon kak Syam buat apa? Kalau boleh tahu, kamu ini siapa? Wartawan juga? polisi?,” “Aku tak lain dan tak bukan adalah pemujamu, mbak Nikita,” “ Aku serius lho mas,” “Aku seriburius malahan. Kalau masih kurang, aku tambah. Mau?” Yudin temanku yang babingan mulai berulah.
Nikita diam. Kesal. “Halo, halo.., halo mbak Nikita, Ih gitu aja ngambek,” Aku meraih ponsel itu dari tangan Nikita. “ Din, nde bicara yang butul uti kwak ey,” kataku kesal dalam logat Gorontalo-Manado. “O, hehehe, nde oke oke oke, mana dia?” aku kembali menyerahkan ponsel itu pada Nikita “Halo mbak Nikita, sori ya. jangan marah, tadi itu cuman bakusedu, Just kidding,” suara Yudin masih terdengar genit. “Hm” jawab Nikita ketus. “Hm juga,he he he, “ lagi -lagi Yudin berulah. “Huh!” “Oke, oke, kali ini serius. Jadi begini mbak. Aku itu tadi nelpon si Syam hanya untuk memastikan, kalian mau saya jemput jam berapa? Ntar jangan lupa ya, turunnya lewat tangga darurat. Mobilku stand by di pintu belakang hotel. Pertemuanmu dengan Syam, hanya aku yang tahu . Pokoknya rahasia dijamin aman, oke?puas? Jadi kalian mau selesai jam ber..” “Tiit. Tiit .Tiit,”. Seketika Nikita mematikan telepon. Menyerahkannya padaku. “Masih punya rokok?”
Nikita melepaskan ikat rambutnya. Aroma rambutnya menyambangi hidungku. Amboi betapa kasai! Kusodorkan rokok kepadanya. Kusorongkan korek, mendekati bibirnya. “Biar,” Nikita merampas korek itu. Menyulut rokoknya sendiri. Aku batuk kecil dan menelan ludah. Lagi -lagi dihembuskannya asap rokok ke wajahku.
“Boleh kulanjutkan?, “Apanya? ” jawabnya cuek. “Soal tadi,” “Soekarno? 65? PKI atau Freeport?,” “Freeport,” “Mulai deh si kakak,iiiih, apa hubungannya dengan akooooh??,” Nikita menjerit kecil kegemasan. “Siapa tahu ada,” “Siapa tahu??,” “Tahu kan kasus #PapaMintaSaham,” “Oh, ya, pernah dengar, memenya banyak sekali di internet, lucu -lucu,” “Menurutku, kasusmu sengaja dimunculkan sebagai pengalih kasus besar itu,” “Ngaruh emang?” tanyanya. “Ngaruhlah menurutku, kasus Amel Alvi juga begitu juga kan? Dimunculkan saat lagi rame-ramenya pemberitaan kasus korupsi pejabat negara, KPK lawan Polisi, cicak buaya jilid dua,” “Maksud kak Syam, aku jadi tumbal? alat konspirasi?,” “Bisa jadi begitu. Proxy war, perang pengalih, penggiring, pembentuk opini lewat media,”
“Terus kalian, orang media hanya diam sajakah diperalat seperti itu ?,” mata Nikita membelalak. “Sebagian besar media sebenarnya sadar, tapi peduli apa? Toh, Kasusmu bisa jadi pendulang rating buat media mereka. Berita besar hari ini melulu tentang kamu, Nikita.
Media menjadikan kamu sasaran empuk, judulnya dibikin sesensasional mungkin, maka adsense dollar pun akan membengkak, tivi-tivi kebanjiran iklan,; lalu coba saja ketik namamu di google, apa coba yang muncul? ” Kusambung: “Berita-berita sensasional di internet itu diklik, dibagikan jutaan kali oleh para clicking monkey, para monyet yang sudah tahu ditipu tapi tetap saja tertipu.
Beritamu muncul berulang ulang di tivi. Jadi santapan hiburan, mereka lantas mengutuk atas nama moral,agama sembari diam -diam mencari gambar telanjangmu di internet,” Nikita menghempaskan pantatnya di kasur. Springbed jadi bergoyang-goyang. “Kalian benar-benar anjrit ya ,” dadanya kembali turun naik, hidung mancungnya kembang kempis.
Kuhampiri dia. Duduk di sampingnya. “Untuk itulah saya datang menawarkan wawancara ini, Nikita harus bicara. Bicara hal yang sesungguhnya, ” Aku ingin mendengar darimu sendiri, cerita sebenar-benarnya, untold, uncut, kisah yang benar-benar telanjang dan bulat. Ini kesempatanmu membela diri, ”
Nikita menatapku. Lekat lekat. Aku balas menatapnya. Tapi sambil berusaha tidak menelan ludah. ” Kau benar-benar ingin tahu yang sebenarnya? Nikita bergeser mendekat. “Benar?” “Iya, Benar,” Nikita mendekati telingaku. Nafasnya meniup halus. Bulu kudukku berdiri. Seperti kena setrum. Nikita membuka mulutnya. berbisik pelan di telingaku. Pelan dan mendesa…Kali ini aku terperangah. “Hah!Bb, benarkah? Siapa lagi, Nikita?” Nikita tersenyum “ Kamu akan mendapat berita yang jauh lebih besar, aku sudah hancur kak, kini saatnya aku balas menyerang. Ini berita yang sangat besar kak, bisa-bisa negara ini akan hancur dengan pengakuanku ini, ambil catatanmu, rekam ini baik-baik!,”
Aku beranjak. Hendak berdiri mengambil buku catatan dan perekam. Tapi…. Oh, kenapa tubuhku jadi berat sekali. Aku berusaha bangkit. Tetap tak kuasa. Semakin berusaha semakin berat. Aku memandang Nikita. Hendak minta tolong. Tapi mulutku terkatup. Nikita tertawa. Keras. Kian keras. Keras sekali. Apa ini?? kenapa jadi begini??Aku merontak. Berusaha berteriak. Tubuhku mengeras. Rahangku kaku “T..T….T…..To, Toloooonnng!!!” Aku berteriak keras sekali… “Ka, kaka, ko kenapa?” tubuhku terasa digoyang-goyang. Aku lalu terbelalak. Napasku tersengal. “Ini jam berapa kah,?” tanyaku setelah membuang napas.
Tentang Penulis.
Syam menamatkan pendidikannya pada program studi Perbandingan Agama, Universitas Muhammadiyah Surakarta (2005). Selama kuliah, dia terlibat sebagai aktor dan sutradara pada sejumlah reportoar (naskah drama, teaterikalisasi puisi/cerpen) antara lain karta WS Rendra, Putu Wijaya, Utuy Tatang, Sopocles. Puisi puisinya termuat dalam buku antologi dan terbit di sejumlah media massa
Syam pernah jadi sales regulator kompor gas, guru dan akhirnya memutuskan jadi jurnalis di Kantor Berita Antara (2008 – 2012). Koresponden di The jakarta Post (2012 – sekarang), Pemimpin Redaksi di Jurnal Kebudayaan Tanggomo (2011 – 2012), Pemimpin Redaksi di DeGorontalo (2014 – sekarang) dan remote editor di tabloidjubi.com (2017 – sampai sekarang). Dia tercatat sebagai anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Alliance Or Community Media In Southeast Asia (ACMSEA) dan Himpunan Media Alternatif Nusantara (HUMAN).