Gorontalo, mimoza.tv – Universitas Gorontalo (UG) telah mengukuhkan Prof. Dr. Meimoon Ibrahim, SE., MM dan Prof. Dr. H. Rustam Akili, SE., SH., MH sebagai Guru Besar pada Selasa (28/11/2023). Upacara pengukuhan yang digelar di Gedung Universitas Gorontalo Convention Center (UGCC) tersebut dihadiri oleh Pj Gubernur Gorontalo, Ismail Pakaya, Kepala LLDIKTI Wilayah XVI Sulutenggo, Munawir Sadjali Razak, S.IP., MA, Duta Besar Indonesia untuk Bosnia dan Herzegovina, Roem Kono.
Dalam forum mulia itu, Prof. Dr. H. Rustam Akili, SE., SH., MH menyampaikan orasi ilmiah soal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, pengujian Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Prof. Rustam menyampaikan, sejak awal berdirinya Indonesia para pendiri bangsa ini berikral dan bertekad untuk menegaskan Indonesia sebagai negara hukum dan memilih untuk republik dan demokrasi sebagai kerangka dasarnya. Sepuluh tahun terakhir ini, kata dia hukum dan demokrasi mengalami guncangan hebat atau sedang tidak baik-baik saja, yang berulang dengan indikasi kuat melemahnya institusi dan integritas hukum.
Ia mengatakan, sebagai negara modern yang menolak disebut sebagai negara gagal, maka Indonesia membutuhkan keberanian dan kejujuran bersikap secara akademis dalam menyikapi tema-tema yang krusial dalam pertumbuhan selama ini. Indonesia butuh institusi yang berintegritas dan kuat.
“Sebagai kontribusi saya profesor di bidang hukum dan administrasi negara dan tata negara, dari mimbar akademi yang sangat terhormat ini saya akan menyampaikan orasi ilmiah analisis yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang ketentuan ambang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak inkostitusional,” ucap Prof. Rustam.
Lanjut Prof. Rustam, Jika Mahkamah konstitusi diibaratkan sebagai penjaga konstitusi, maka seorang akademisi apalagi guru besar harus menjadi penjaga marwah akademi. Ia mengaku, meskipun aktivitas dan karirnya sebagai sebagian besar dalam dunia politik dan sosial kemasyarakatan, namun dunia akademik telah menuntun dan membingkai pikiran serta sikap dan perilakunya dalam memposisikan kegiatan politik dan aktivitas akademik ilmiah secara proposional.
“Kita boleh berpihak atau tidak netral dalam arti pilihan politik. Namun jangan sampai kita kehilangan objektivitas sikap secara ilmiah. Sebaliknya jika kita kehilangan atau tidak menjaga objektivitas sudah dapat dipastikan kita tidak netral dan mencerai demokrasi,” cetusnya.
Dalam orasi ilmiah Prof. Rustam mengatakan, putusan MK ini menuai kontroversi di tengah masyarakat karena dianggap memberikan keuntungan kepada Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman. Banyak ahli dan masyarakat menilai bahwa putusan ini melahirkan adanya konflik kepentingan banyak kalangan. Bukan hanya politisi tetapi juga penggiat praktisi Pemilu, bahkan terutama akademisi menenggarai telah terjadi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap permohonan tersebut.
“Faktanya bahwa Ketua MK adalah paman dari Gibran, yang yang tiada lain adalah putra sulung Presiden Joko Widodo,” tandasnya.
Penulis : Lukman.