Oleh: Funco Tanipu
Beberapa bulan lalu, tepatnya 2 Mei 2019, saya menulis artikel “Gorontalo Darurat Literasi“, dalam tulisan itu ada beberapa temuan terkait literasi anak muda Gorontalo. Riset tersebut sebagai analisis dari temuan Indonesian National Assesment Program (INAP) tahun 2016. Tujuan riset tersebut untuk melakukan pemetaan, diagnostik, dan evaluasi terhadap literasi, baik peta literasi maupun determinan tingkat literasi di seluruh Indonesia. Saat ini, INAP juga telah dikembangkan menjadi AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) untuk level SMP.
Riset INAP tersebut dilakukan pada anak SD usia 12-14 tahun, pada medio 2016, artinya riset tersebut dilaksanakan pada tiga tahun silam. Artinya, anak-anak yang disurvey pada masa itu, kini telah berusia 15-17 tahun.
Jika kita membaca berita media mengenai kasus pana wayar, rata-rata pelakunya adalah yang berusia 15-17 tahun. Merekalah yang menjadi “bagian” atau “snapshot” dari survey INAP 3 tahun lalu.
Pada riset INAP lalu, ditemukan bahwa literasi anak usia sekolah sangat rendah. Rendahnya literasi itu ada pada literasi sains, membaca dan matematika. Yang parah, literasi sains anak-anak Gorontalo terendah di Sulawesi! Di sisi lain, literasi matematika dan membaca berada dibawah rata-rata nasional.
Rendahnya literasi ini memberi kontribusi jangka panjang pada daya kritis anak terhadap apa yang dibaca, dilihat, didengar dan dirasakan. Rendahnya literasi ini sangat memungkinkan si anak lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungannya, dibandingkan ia memiliki daya kritis terhadap apa yang ia “konsumsi”.
Apalagi dalam kurun tiga tahun terakhir, “konsumsi” anak-anak lebih pada yang bersifat ekstrim seperti games perang, perkelahian dan yang bernuansa kebencian. Hal ini ditambah dengan menjamurnya gamenet-gamenet yang menyediakan games online yang memiliki konten kekerasan seperti COC, Mobile Legend, PUBG dan banyak game online lainnya.
Rendahnya daya literasi yang kemudian dijejali oleh konten “perang” dari games online akan membangun memori anak muda semakin “beringas”.
Miniatur kontestasi antar gang (grup) dalam games perang online lalu dikonversi menjadi model kontestasi antar “gang perang” dalam lingkungan yang offline (real world).
Suasana kota yang horor dalam games online yang saling memburu, meniadakan, bahkan membunuh menjadi “inspirasi” bagi anak-anak muda tersebut dan “memindahkan” imajinasi online itu ke perang antar gang di dalam kota yang nyata.
Kontestasi online yang dipindahkan ke offline ditambah lagi dengan semangat “aktualisasi” anak muda yang ingin tampil : gagah, hebat, hero, jagoan.
Aktualisasi diri ini lalu menjadi sumber masalah baru, bahwa yang “ditangkap”, “masuk media”, dan “dipenjara semalam”, adalah semacam “prestasi”dan “kebanggaan”. Bagi yang “meraih” itu, bisa jadi “simbol pahlawan” atau “jagoan” dalam grupnya.
Kondisi ini begitu menyesakkan jika terbiarkan secara terus menerus. Mesti ada upaya yang holistik-komprehensif dalam penanganan kasus ini.
Kasus ini tidak bisa disederhanakan hanya dengan memecat si anak dari sekolah, atau memenjarakan orang tuanya, atau tembak di tempat. Bisa jadi itu untuk agenda yang pendek, tetapi secara jangka panjang upaya yang terstruktur perlu digagas secara komprehensif.
Jika ini terbiarkan, maka kita sudah harus memupus mimpi meraih bonus demografi di beberapa tahun akan datang. Kita hanya akan menerima bencana demografi jika ini terbiarkan.