Gorontalo, mimoza.tv – Pasca diputus bersalah oleh Majelis Hakim Tipikor Gorontalo, Andi Syafrani, selaku Penasehat Hukum terdakwa Asri Wahyuni Banteng (AWB), angkat bicara.
Menjawab pertanyaan wartawan Andi menjelaskan, jika diambil kesimpulan, sebenarnya apa yang di vonis hakim terhadap kliennya tersebut adalah kesalahan administrasi yang dilakukan bersama-sama, melibatkan orang lain, seperti, Gabriel selaku Kepala BPN Gorontalo, Winarni Monoarfa selaku Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo.
Andi mengatakan, Winarni yang juga merupakan Pengguna Anggaran (PA) dalam proyek tersebut turut andil menandatangani kwitansi. Sementara dua orang lainnya dari PPTK yaitu Ibrahim Utiarahman dan Sri Wahyuni Daeng Matona yang dianggap punya peran dan tanggung jawab terkait dengan adanya kerugian Rp 53 juta ini.
“Dari vonis pertimbangan hukum juga kita sudah mengetahui, disebut beberapa nama lain yang dianggap punya peran dalam kasus ini. Tadi disebut dari BPN dan dari unsur Pemda. Sejauh ini nama-nama itulah yang dianggap keterkaitan dengan perkara ini,” ujarnya.
Lanjut kata Andi, jika dianggap ada pihak-pihak yang lain lagi, maka dipersilahkan kepada penegak hukum untuk melanjutkannya. Karena secara hukum kata dia, secara hukum hal ini sudah dianggap sebagai perbuatan pidana.
“Tinggal pihak mana saja yang dianggap punya keterlibatan, tentu itu menjadi kewenangan dari penyidik untuk melakukan pengembangan. Dari awal adam empat, lalu dalam prosesnya hanya tiga. Ini salah satu yang kami inginkan, agar keadilan ini bisa di proses.,” ujar Andi.
Dijelaskannya juga, adanya kerugian sejumlah 53 juta itu karena adanya dobol pembayaran terhadap tiga orang warga yang tanahnya dilintasi proyek jalan GORR.
Namun di tanya wartawan terkait ada beberapa saksi yang mengaku tidak pernah menerima pembayaran tersebut, Andi mengatakan, ada beberapa aspek yang secara faktual masih di pertimbangkan.
“Pertama di persidangan tadi dianggap bersama-sama dengan para pihak ini. Dalam persidangan tidak ada satu pun pernyataan saksi yang menyatakan ibu Asri terlibat, mengetahui, apa lagi secara bersama-sama melakukan perbuatan ini baik dengan BPN maupun internal Pemda. Maka pernyataan bersama-sama ini tentu sesuatu yang membuat kami masih berfikir, bersama-sama ini dalam konteks apa?. Fakta persidangan tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Kalau bersama-sama ini tidak ada, bagaimana AWB ini bisa dianggap pelaku?,” tanya Andi.
Dirinya menjelaskan juga, dalam sidang pledoi beberapa hari yang lalu pihaknya sudah menyampaikan, 53 juta tersebut hanya berdasarkan pada catatan falidasi dan kwitansi. Ini terkait dengan bukti pembayaran.
“Harusnya bukti yang otentik adalah bukti tanda terima mereka dari bank, yaitu bukti transfer. Nah, hal ini tidak pernah dihadirkan di persidangan. Jadi transfernya tidak pernah kita tau betulkah 53 juta ini telah diterima oleh yang bersangkutan, dan mereka menerimanya dua kali. Karena secara pengakuan saksi-saksi, tidak ada satupun mereka menerima dua kali,” tegasnya.
Untuk saksi terkait SPPF juga Andi juga mengungkapkan, dalam fakta persidangan tidak ada satu pun yang menyatakan SPPF itu dibuat dengan kepalsuan. Kalaupun itu diduga palsu, seharusnya dibuktikan terlebih dahulu secara hukum bahwa dokumen itu adalah palsu, baru dinyatakan itu merupakan alat atau bukti yang tidak sah.
“Tidak pernah ada proses hukum yang membuktikan SPPF ini adalah palsu. Hanya dinyatakan tidak sesuai dengan Pasal 26 Perpres. Ini juga tidak terbukti secara keseluruhan, sedangkan jumlahnya banyak. Kalau kita bicara SPPF-nya, yang penting adalah kebenaran materil bahwa tanah tersebut memang dikuasai oleh yang bersangkutan,” tutur Andi.
Bahwa secara formil ini dianggap ada masalah, maka kata dia silahkan saja hal tersebut untuk dibuktikan.
“Secara materil tidak ada pernyataan satu pun dari sekitar 20 kepala desa yang telah hadir di persidangan, yang menyatakan bahwa ini ada lahan konflik antara warga di sana, sehingga mengakibatkan SPPF ini diragukan kebenarannya,” imbuhnya.
Ditanya wartawan soal siapa yang bertanggung jawab dalam dobol pembayaran, Andi mengatakan, justru hal ini belum pernah dibuktikan bahwa tiga orang tersebut menerima dengan adanya bukti pembayaran dari bank.
“Mau dibilang apa terhadap fakta ini? Jadi ini sebenarnya masih dalam batas dugaan. Karena memang tidak pernah ada bukti tanda terima dari bank langsung kepada yang bersangkutan. Karena kwitansi itu saya kira hanya salah satu bukti saja yang harus di dukung juga dengan bukti yang lain yaitu cetakan dari buku rekening. Itu baru membuktikan kalau uangnya di transfer dan kemudian uangnya di tarik oleh yang bersangkutan dengan jumlah yang sama,” pungkasnya.
Sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Gorontalo memutuskan AWB tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primair perkara korupsi pengadaan lahan jalan lingkar luar Gorontalo atau GORR.
AWB juga dibebaskan dalam dakwaan primair tersebut, dan secara tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.
Meski demikian AWB diganjar pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani dan denda 100 juta subsider 2 bulan. (red)