Oleh: Funco Tanipu
Genderang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Gorontalo mulai ditabuh, mulai ada simulasi-simulasi pasangan. Memang, simulasi pasangan penting, namun ada hal yang lebih penting yakni bagaimana gagasan-gagasan disimulasi dan diujicoba secara berkali-kali dan berulang-ulang.
POWER
Dari sekian banyak pasangan yang disimulasi dan dielus-elus, ada beberapa kepala daerah yang dianggap mumpuni dalam kontestasi Pilgub. Mereka mumpuni dalam beberapa hal ; (1). Memiliki basis elektoral yang sudah mereka kuasai secara struktural. (2). Memiliki perangkat organisasi yang terdiri dari jaringan tokoh dan elit politik hingga birokrat yang standby untuk dimobilisasi kapan saja. (3). Memiliki dukungan pendanaan yang kuat. Pendanaan ini biasa berasal dari jaringan bisnis yang selama ini memiliki hubungan harmonis sejak menjabat. (4). Memiliki performance kinerja pelayanan yang bisa membuat publik puas. (5). Memiliki status kultural sebagai “wuleya lo lipu” yang bisa menaikkan derajat sosial di mata publik. (6). Memiliki media-media yang secara simultan selalu memberitakan kegiatan dan agenda harian.
“Power” inilah yang menjadikan kepala daerah memiliki peluang besar dalam kontestasi politik lokal seperti Pemilihan Gubernur.
Jika kita merujuk pada hasil Pilkada baik Kabupaten maupun Kota, dari semua Kepala Daerah yang ada, rata-rata telah memenangkan dua kali Pilkada di daerahnya.
Sebut saja Syarif Mbuinga yang memenangkan Pilkada Pohuwato di tahun 2010 dan 2015. Di Kota Gorontalo, Marten Taha memenangkan Pilwako tahun 2013 dan 2018. Di Gorontalo Utara, Indra Yasin memenangkan Pilkada 2008, 2013 dan 2018. Di Bone Bolango, Hamim Pou memenangkan Pilkada 2010, 2015 dan 2020. Nelson Pomalingo pun demikian, ia memenangkan Pilkada tahun 2015 dan 2020.
Anas Yusuf sebagai Plt Bupati Boalemo tidak bisa disebut sebagai kandidat Gubernur karena masih akan ikut kontestasi di Boalemo nanti.
Lima orang kepala daerah diatas memiliki enam kekuatan yang mumpuni seperti disebutkan diatas. Kelimanya telah teruji secara elektoral dan teruji dalam hal pelayanan kepada publik.
Mereka berlima bisa memenangkan kembali dan berulang-ulang menjadi Kepala Daerah karena publik menganggap kinerja pelayanan publik baik di sektor pendidikan, kesehatan dan sosial lainnya memuaskan. Kepuasan publik inilah yang membuat elektabilitas mereka dalam Pilkada selalu diatas para penantangnya.
Walaupun ada ketidakpuasan-ketidakpuasan dari sebagian warga mereka, namun biasanya persentasenya tidak lebih dari 30 %. Hal ini terlihat dari beberapa kali hasil survey yang dilakukan The Gorontalo Institute dalam kurun 10 tahun terakhir.
PERBEDAAN MEREKA
Dari banyak kesamaan mereka, ada beberapa faktor yang akan membedakan peluang mereka antara lain ; (1). Basis elektoral antara daerah dan yang lain berbeda. Ada daerah yang memiliki jumlah pemilih yang banyak, ada yang jumlahnya sedang. (2). Dari sisi dukungan organisasi, ada yang bisa menggerakkan organisasi secara ideologis, ada juga yang pragmatis. Ada pula yang memang memiliki pendukung “die hard”, ada juga yang memiliki pendukung “asal bapak senang”. (3). Ada yang memiliki jumlah “tabungan” yang banyak, ada juga yang hanya mengandalkan dukungan jaringan “financial supporting” baik itu dari pengusaha atau keluarga dekat. (4). Perbedaan lain adalah soal persentase kepuasan publik yang berbeda-beda, ada yang kepuasan dibawah 50 %, ada yang diatas itu. (5). Soal status kultural, ada yang bisa mengolah modal sosial-kultural, ada yang memang tidak mampu mengolah itu dan bergantung pada manajemen modern. (6). Soal media, ada yang bisa mengelola konten yang menarik perhatian publik, ada yang “normatif” dalam pengelolaan isu-isu kreatif. Ada yang mengandalkan media demgan coverage rendah, ada yang coverage tinggi.
Walaupun begitu, menafikan kekuatan kepala daerah bukan hal yang baik dalam kontestasi politik. Tidak tercalonkan saja mereka bisa menentukan siapa yang akan menang di daerahnya, apalagi jika mereka ikut serta.
Jika kita merujuk pada hasil Pilgub 2006, Pilgub 2011, dan 2017. Posisi kepala daerah sangat strategis dan memiliki peluang besar. Sebagai contoh misalnya Rusli Habibie pada tahun 2011 yang bisa naik jadi Gubernur setelah sebelumnya menjabat sebagai Bupati Gorontalo Utara berpasangan dengan Indra Yasin.
Kalau melihat dari sebaran Kepala Daerah yang pernah ikut Pilgub, baru Rusli Habibie yang punya catatan sejarah sukses kepala daerah yang bisa memenangkan Pilgub. Pertanyaannya, apakah catatan tersebut akan diikuti oleh para kepala daerah diatas, ataukah mereka hanya menjadi barisan pendukung kandidat Gubernur nanti?
WAKIL MEREKA BAGAIMANA?
Untuk menjawab hal tersebut, hal ini tidak bisa dijawab oleh Kepala Daerah itu saja, yang berkepentingan menjawab itu adalah juga Wakil Kepala Daerah.
Semisal Syarief Mbuinga, memang ia akan mengakhiri masa jabatan pada awal tahun ini, tapi dia memiliki modal “politik biologis” yang sudah pasti akan mendukungnya habis-habisan. Tapi, bisa saja Syaiful Mbuinga malah malah akan ikut garis instruksi partai Gerindra yang telah memutuskan satu nama sebagai Calon Gubernur yakni Elnino Mohi.
Apakah seorang Wakil Bupati seperti Hendra Hemeto akan “die hard” untuk Nelson atau malah ikut perintah partai Golkar yang pasti akan mengusung calon sendiri? Ryan Kono apakah akan terus setia dan akan memenangkan Marten di Pilgub nanti, sebab ayahnya Roem Kono yang juga disebut-sebut akan ikut Pilgub? Termasuk Thariq Modanggu apakah akan menurunkan “bala tentara” yang menjadi pasukan ideologisnya sejak 2008 atau malah akan ikut garis PDI-P yang memiliki tujuh kursi untuk bisa mengusung kandidat? Apakah Merlan Uloli juga akan pasang badan ke Hamin Pou sebab saudaranya seperti Tony Uloli dan Afanti Uloli akan ikut kontestasi juga?
Mereka mau tidak mau, suka tidak suka harus memperjuangkan itu, karena mereka sendiri yang akan diuntungkan, dan perjuangan tersebut harus terlihat secara visual, bukan dalam untaian kata-kata.
PICA KONGSI
Sebab, jika Kepala Daerah dan Wakil sudah tidak akur bahkan “pica kongsi”, maka jangan harap Kepala Daerah yang akan maju bisa mulus perjuangannya hingga akhir. Hal itu terlihat dari sepak terjang Indra Yasin saat ia mendukung habis-habisan Rusli Habibie saat Pilgub 2011 lalu. Di Gorut, kemenangannnya melampaui angka 80 % dan tertinggi dibandingkan kemenangan di daerah lain.
Terkait “pica kongsi”, Kemendagri mencatat sejak Pilkada 2005 hingga 2014, ada sekitar 94 persen pecah kongsi, 6 persen saja yang tidak pecah kongsi. Angkanya cukup fantastis jumlah pecah kongsi 971 pasangan, dan yang tidak pecah kongsi hanya 77 pasangan.
Selain “pica kongsi”, komunikasi yang harmonis dengan partai politik juga butuh keseriusan jangka panjang. Partai politik pun membuka komunikasi bukan hanya dengan satu kandidat, mereka akan menurunkan tim yang berbeda-beda untuk “mengolah” komunikasi dengan kandidat. Siapa yang paling “harmonis” komunikasinya, dia yang akan dapat “perahu.
PELUANG DIRONTOKKAN
Selain “power” yang mereka miliki, Kepala Daerah juga memiliki “potensi” dirontokkan. Biasanya, dalam Pilkada itu bukan saja mencari kandidat yang paling “benar” gagasannya, tapi juga akan ada kompetisi mencari celah di setiap diri kepala daerah atau keluarganya. Jika ada indikasi kasus hukum atau kasus yang bersifat “privat” yang dilakukan Kepala Daerah, maka itu akan diseriusi oleh banyak pihak yang bertujuan merontokkan. Begitu pula kalau ada permasalahan administrasi dalam persiapan pencalonan nanti, hal itu yang akan dijadikan pokok menghabisi. Hal-hal tersebut menjadi “peluang” untuk meniadakan peluang yang telah ditata sejak menjabat.
Dalam konteks itu, peluang yang ada masih bersifat dinamis. Semua berpulang pada kinerja elektoral dari setiap Kepala Daerah yang maju nanti.
MAU TIDAK MAU
Syarief Mbuinga memang tidak ada bahasa lain selain harus maju, demikian pula dengan Indra Yasin dan Marten Taha karena sudah akan berakhir masa jabatan. Ketiganya pasti akan habis-habisan untuk tercalonkan, jika tidak akan memasuki masa pensiun politik yang tidak mengenakkan.
Sedangkan Nelson dam Hamim, walaupun sudah mengeluarkan berbagai macam kode, namun belum berani menyatakan secara terbuka akan maju, sebab mereka belum dilantik dan masih harus membuktikan bisa menyelesaikan apa yang menjadi hutang periode sebelumnya dan apa yang “kelihatan” di satu atau dua tahun kedepan.
Kondisi inilah yang membuat kelima orang ini bisa saja akan berkomunikasi di antara mereka untuk bisa berpasangan. Misalnya yang mulai terjalin adalah komunikasi Syarif dan Indra Yasin. Ada juga Indra-Marten. Ada yang menyebut-nyebut Nelson-Hamim.
Simulasi lain antara kepala daerah dengan kandidat potensial lain seperti Syarif-Elnino, Idris-Marten, Roem Kono-Marten, Marten-Hamim dan banyak simulasi-simulasi yang coba dicocok-cocokkan.
Simulasi-simulasi ini akan menguntungkan jika digarap semenjak awal. Karena harus konsolidasi basis elektoral masing-masing dan harus cari partai sama-sama. Walaupun masih lama, tapi semua butuh “tali panjang” dan “nafas panjang. Tidak ada yang instan dalam politik, harus ada proses yang “berdarah-darah”, dan itu butuh kolaborasi semua pihak. Tak ada yang bisa mengklaim terhebat dalam politik karena semua ada skalanya. Bagi para kepala daerah, mereka adalah yang terhebat di daerahnya, tapi di daerah lain, bisa jadi mereka tidak apa-apanya, kecuali mereka membuktikan mereka bisa membalikkan itu.
Tentu semua masih akan berproses, pada proses inilah kedewasaan dan kesabaran dituntut. Semua harus bekerja keras, ekspansi harus berkali lipat. Jika tidak, mereka sudah tahu resikonya seperti apa, pensiun dari dunia politik atau akan “menggengam” harapan rakyat untuk dijadikan kenyataan.