Oleh: Nanag Masaudi
Gorontalo, mimoza.tv – Gawai atau smartphone kini menjadi bagian tak terpisahkan lagi dari kehidupan manusia termasuk anak-anak. Bahkan penggunaan gawai di kalangan anak-anak di masa pandemi covid 19 ini mengalami peningkatan drastis sebagai dampak penerapan kebijakan belajar dari rumah oleh pemerintah.
Hanya butuh satu tahun bagi Indonesia untuk naik ke peringkat 9 sebagai negara pengguna aplikasi game online pada tahun 2020 dari peringkat 17 pada tahun 2019 berdasarkan daftar yang dirilis Global Games Market Report.
Sementara banyak orangtua yang tidak cukup siap menghadapi perubahan pola perilaku belajar anak di rumah, faktornya bisa karena tidak adanya sinkronisasi program BDR (Belajar Dari Rumah) dengan jam kerja orangtua yang kini harus kembali bekerja dari kantor, dan/atau bisa juga karena faktor terbatasnya pemahaman orangtua terhadap pengaturan pola interaksi anak dengan gawai atau HP sehingga saat ini memunculkan begitu banyak persoalan serius terhadap perkembangan mental anak.
Dalam situasi seperti saat ini orangtua walau bukan seorang guru, paling tidak dapat berusaha menjadi role model dalam menunjukkan sikap bijak dalam penggunaan smartphone. Orangtua juga dituntut untuk lebih cerdas menciptakan suasana yang bisa membuat anak melepaskan gawainya.
Diantara keluhan orang tua yang pernah terungkap ke pihak sekolah selama masa pandemi ini yaitu masalah seputar motivasi belajar anak yang terus mengalami penurunan, sikap anak yang menjadi asosial, dan juga perkembangan emosional anak yang makin kasar dan mudah marah terutama ketika diminta untuk berhenti bermain HP.
Dalam jangka waktu yang panjang rasanya memang sulit bagi orangtua untuk dapat terus memastikan fungsi gawai cukup sebatas media komunikasi dan alat bantu belajar saja bagi anak mereka di rumah. Pergaulan anak di dunia nyata juga tidak cukup memberi ruang yang memadai untuk berinteraksi dengan kawan-kawannya sehingga terpaksa anak harus berselancar kembali ke dunia maya. Lebih dari separuh kehidupan sadar anak-anak saat ini berada dalam genggaman dunia maya.
Pada tahun 2020 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat melansir sebuah laporan tentang tingginya peningkatan pasien gangguan jiwa di kalangan anak-anak yang diakibatkan oleh kecanduan game. Sementara itu di tempat lain sempat diberitakan oleh beberapa media online bahwa game addict (kecanduan game) telah menyebabkan kejang, penggumpalan darah, hingga kelumpuhan di bagian lengan pada sebagian anak-anak.
Sejak tahun 2018, WHO juga telah menetapkan bahwa gaming disorder adalah satu bentuk gangguan mental yang rentan dialami oleh kalangan remaja khususnya anak laki-laki. Berbeda dengan anak perempuan yang kecanduan gadget justeru lebih banyak mengakses media sosial facebook, instagram, tik tok, dan youtube.
Kelembutan anak-anak makin sirna, cinta dan rasa hormat anak kepada orangtua makin tergerus oleh idola-idola baru mereka di dunia game online (free fire, PUBG, mobile legend, point blank), seleb tik tok dan artis K-pop. Di setiap kumandang azan, hak-hak Allah telah sering terabaikan oleh para remaja.
Tak cukup sampai di situ, hak ilmu pengetahuan untuk dijalankan secara dialektis kini mulai kehilangan ruang interaktifnya. Tujuan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa makin kehilangan arah. Dunia virtual yang serba digital ternyata tak cukup mumpuni untuk menyampaikan pesan-pesan edukatif yang dapat menembus dimensi kejiwaan anak didik.
Ketiadaan interaksi secara fisik antara pendidik dan peserta didik menyebabkan tidak terkoneksinya aspek-aspek yang bersifat afektif. Secara kognitif, pengetahuan siswa juga tidak berkembang secara proporsional sesuai target kurikukum yang memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi situasi luar biasa ini.
Kemampuan psikomotorik anak didik juga semakin sulit untuk dikembangkan karena makin dominannya peran gawai dalam proses pembelajaran jarak jauh. Tak dipungkiri lagi bahwa kecanggihan teknologi gawai dengan berbagai fitur dan aplikasinya kini telah merenggut kelembutan hati, pikiran, perhatian dan masa depan para buah hati kita.
Anak kita kini bukan milik kita lagi. Kita hanya memiliki raga mereka, tapi jiwa dan pikiran mereka telah dirampas oleh gadget. TV, laptop, gawai seolah telah menjadi media elektro-hypnotis yang secara magis mampu mempengaruhi anak menjadi pribadi yang over-obsesif, bipolar, dan peniru. Bahkan ketika gawai pun dijauhkan dari jangkauannya, anak berubah menjadi pribadi yang cemas dan kehilangan konsentrasi.
Para orangtua siswa kini makin tertekan dengan situasi yang diakibatkan oleh pandemi ini. Meski sebenarnya orangtua dapat menikmati kebersamaan dengan anak-anak di rumah, namun sesungguhnya kebersamaan itu telah menghadirkan ketegangan dan menghilangkan keceriaan serta kehangatan dalam keluarga.
Hal yang cukup menyedihkan lagi adalah banyak di antara orangtua yang terperangkap oleh jam kerja di kantor atau di tempat kerja sehingga terpaksa harus membiarkan anak-anak mereka belajar secara virtual tanpa pendampingan orangtua.
Pemerintah pasti telah menyadari kondisi yang sangat memprihatinkan ini. Berbagai strategi sebagai upaya mencari jalan keluar juga telah ditempuh. Tapi setiap langkah yang dilakukan pemerintah sepertinya masih belum bisa keluar dari dilema antara mengembalikan pembelajaran tatap muka di sekolah atau terus belajar dari rumah. Padahal sebenarnya masyarakat sedang menunggu dan siap menyambut keputusan yang lebih berani dari pemerintah untuk membuka sekolah bagi pembelajaran tatap muka meskipun harus dilakukan secara terbatas.
Akibat situasi yang tidak menentu ini, pendidikan Indonesia kini sedang menghadapi problema besar. Nasib 45,3 juta pelajar di seluruh Indonesia dibayang-bayangi oleh masa depan yang suram. Dua tahun lamanya mental mereka telah dibentuk dan ditempa oleh dunia virtual. Ancaman gangguan psikososial dan mental disorder terus membayangi anak-anak Indonesia. Sementara pemerintah tidak memiliki pola penanganan anak-anak yang mengalami game addict seperti yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan yang menyediakan kamp terapi khusus bagi anak-anak yang mengalami gangguan mental karena kecanduan game.
Jangan sampai di tahun ketiga masa pandemi ini langkah pemerintah hanya terus berkutat pada problema dan dilema tanpa pernah menemukan jalan keluar yang berarti. Dalam program pemulihan ekonomi saja, pemerintah cukup berhasil mengawal pembukaan pasar, mall, gedung pernikahan, restoran, dan pusat-pusat perbelanjaan lainnya di masa pandemi, namun sepertinya tidak cukup berani untuk melakukan pembukaan institusi pendidikan sebagai wadah untuk terus melestarikan peradaban manusia.
Padahal sekolah dan madrasah dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya merupakan lembaga yang cukup kompatibel untuk diterapkannya protokol kesehatan yang lebih pro-imun sekaligus juga pro-iman.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
”Siapa yang memasuki suatu tempat, kemudian dia membaca ‘a’udzu bi-kalimaatillaahit taammaati min syarri maa khalaq’, maka tidak ada satupun makhluk yang dapat membahayakannya, hingga dia pergi dari tempat itu. (HR. Muslim 2708).